SUMATERAEKSPRES.ID - Angka pengangguran di Indonesia terus menjadi perhatian serius, terutama di kalangan lulusan sarjana strata satu (S1).
Penyebabnya bermacam-macam, tetapi salah satunya adalah ketidaksesuaian dengan tuntutan zaman digital.
Satu dari empat faktor utama yang menyebabkan sarjana menganggur adalah obsesi terhadap IPK yang tinggi. Ketika masih kuliah, banyak mahasiswa terjebak dalam keinginan untuk meraih IPK sempurna.
Namun, realitasnya, perusahaan tidak hanya mempertimbangkan IPK tinggi, melainkan juga pengalaman magang, keikutsertaan dalam organisasi, serta kemampuan dalam bahasa asing atau penggunaan program komputer.
BACA JUGA:Menhan Prabowo Bangga Unhan RI Cetak Sejarah Luluskan 75 Sarjana Kedokteran Militer
BACA JUGA:Dorong Alumni Ikut PPG Prajabatan, 66 Sarjana FKIP Universitas PGRI Ikuti Yudisium Ke-147
Kejenuhan dalam hanya mengandalkan ilmu akademis juga menjadi salah satu masalah. Sebagian besar lulusan hanya fokus pada apa yang mereka pelajari di bangku kuliah tanpa memperluas wawasan melalui pengalaman di luar itu.
Perusahaan membutuhkan lebih dari sekadar pengetahuan teoritis; mereka mencari kandidat yang memiliki pengalaman praktis dan keterampilan interpersonal yang kuat.
Selain itu, minimnya pengalaman di lingkungan kampus turut berperan dalam mengakibatkan pengangguran.
Banyak mahasiswa yang hanya datang ke kampus untuk mengikuti perkuliahan dan langsung pulang setelahnya.
BACA JUGA:Luar Biasa, IAIQI Wisuda 233 Sarjana Angkatan Ke-17, 8 Diantaranya Hafal 30 Juz
BACA JUGA:Anda Lulus Sarjana Hukum? Bisa Kerja Dimanakah?
Sementara itu, perusahaan memprioritaskan karyawan yang aktif dalam organisasi kampus, menjadi relawan, atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan lain yang memperluas cakupan pengalaman.
Namun, salah satu faktor paling krusial adalah ketidakmampuan lulusan untuk memenuhi tuntutan industri di era digital.
Dunia kerja semakin menuntut kemampuan adaptasi terhadap teknologi dan tren digital. Namun sayangnya, banyak lulusan yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan cepat dengan perkembangan tersebut, sehingga sulit menemukan pekerjaan yang sesuai.
Dalam menghadapi tantangan ini, solusinya mungkin terletak pada penyesuaian kurikulum pendidikan yang lebih responsif terhadap kebutuhan industri, pendorong untuk lebih banyak terlibat dalam kegiatan di luar akademis, dan upaya individu untuk terus mengembangkan keterampilan dalam menghadapi era digital ini.