Setelah jadi bubur Dewi kirim dua-duanya ke laboratorium organik di tiga lembaga. "Hasilnya, yang dari petani yang benar-benar organik," katanya.
Sampai sejauh itu Dewi bersikap hati-hati. "Saya takut dengan pengadilan di akhirat kelak," kata Dewi. "Saya sudah tulis di label kami bahwa bubur kami organik. Jangan sampai tidak organik," katanyi.
Akhirnya Dewi membina petani langsung di Malang. Di kaki Gunung Kawi. Sampai 50 petani. Mereka diminta menanam sayur organik. Dewi yang memberi jaminan sebagai pembeli hasil pertanian mereka.
BACA JUGA:Bursa Warung
BACA JUGA:Jarak Dekat
Sayur apa saja? "Mereka kami minta tanam 30 jenis sayur," ujar Dewi. "Sampai 30 jenis?" "Saya usahakan beda hari beda kombinasi sayurnya," ujar Dewi.
Dia mengaku bukan ahli gizi. Tapi dia bersikap rendah hati: konsultasi dengan lembaga ahli gizi. Sekalian minta dibikinkan resep kombinasinya.
Dari pengamatan Dewi orang membeli bubur di tempatnyi sekaligus tiga mangkuk–paper cup. Sekalian untuk pagi, siang dan sore.
Awalnya Dewi sendiri yang membagikan bubur contoh untuk dirasakan. Dia datangi rumah orang yang punya bayi.
BACA JUGA:Doktor Malam
BACA JUGA:Doktor Teguh
Bagi bubur. Juga datang ke Posyandu. Bagi bubur. Akhirnya Dewi membuka rombong pertama: dijaga oleh kakak ipar, seorang janda yang harus menghidupi anak-anaknya.
Kian lama bubur produksi Dewi laris. Buka di mana-mana. Kini Dewi punya central kitchen di Waru. Lalu punya 20 dapur satelit di 20 lokasi.
Total karyawan Dewi sudah 600 orang. Mereka tinggal di mes-mes perusahaan, yakni di rumah yang dijadikan dapur satelit. Mereka mulai masak pukul 23.00. Lalu mengirim ke rombong-rombong di depan toko milik orang Tionghoa.
Dewi terus membeli rumah kecil untuk dapur satelit sekaligus mes karyawan. Di tiap rumah itu disediakan musala. Karyawan wajib salat berjamaah. Foto salat berjamaah itu wajib diunggah ke grup Telegram.
BACA JUGA:Pengkhianat Drone