Enam tahun belakangan, entah bagaimana, saya dipertemukan dengan mereka yang memberi kode untuk maju ke bursa walikota dan calon walikota Lubuklinggau 2024--2029. Senang sekali, kesempatan-kesempatan itu memberi saya akses untuk mengenal mereka.
Ada yang tampil bossy, ada yang hanya ingin didengar, ada yang selalu menyalahkan kinerja pasangan terdahulu seakan-akan ia adalah orang yang paling pas memimpin, ada yang sibuk memberikan solusi agamis seakan-akan masyarakat kota ini berlumur dosa, dan lain sebagainya.
Kreativitas, Literasi, dan Budaya ke Laut Aja!
Tapi, ada poin menarik, hasil perbincangan santai saya dengan calon-calon tersebut.
Tidak satu pun yang bisa memberikan pandangan yang menarik ketika saya menawarkan literasi, kreativitas, dan budaya sebagai topik percakapan.
Sebagian besar tidak menganggap dua bidang ini sebagai prioritas. Padahal, sebagian besar pemuda dan pemilih pemula, sangat dekat dengan ketiganya.
Bagaimana mereka melihat bakat-bakat muda Lubuklinggau agar bisa berkiprah di tingkat nasional atau bahkan internasional, mereka kagok. Apalagi ketika saya menawarkan literasi dan sastra sebagai bahan elaborasi. Mereka keteteran.
Pertama, sebagian mereka ternyata tidak suka membaca. Kedua, mereka tidak pernah sepenuhnya turun ke tengah masyarakat. Ketiga, adalah konsekuensi dari yang pertama dan kedua: mereka tidak pernah berpikir bahwa, di dunia yang transparan hari ini, kita seharusnya menjadi warga dunia, bukan lagi Indonesia, apalagi Lubuklinggau semata.
BACA JUGA:Cocok Buat Camilan dan Ide Jualan, Ternyata Begini Resep Simpel Basreng Renyah Bikin Nagih
Tokoh Muda Itu ...
Sampai ... sekitar tiga pekan lalu akhirnya saya membuat janji bertemu dengan seorang tokoh muda. Kami mulanya membincangkan beberapa isu pembangunan terkini di Kota Sebiduk Semare.
Namun, ketika percakapan sudah menemukan ritmenya, refleks saya memberi tahu rencana saya untuk “membawa” bakat muda ke tingkat dunia.
“Kali ini mungkin bukan fisiknya,” jelas saya. “Saya ingin karya mereka yang bicara,” lalu saya memberitahu rencana residensi saya setelah lebaran.
“Selama tiga bulan di Eropa, saya akan menulis dan membawa nama-nama baru ini,” saya merinci nama-nama penulis dan seniman.
“Apa yang bisa saya bantu, Benn,” katanya. Singkat tapi menembak. Santai tapi tepat sasaran.
Buru-buru saya menjelaskan bahwa keberangkatan dan biaya hidup saya selama residensi sepenuhnya ditanggung sponsor. Ini penting saya terangkan karena kami sejatinya bukan membincangkan agenda saya, melainkan para penulis lokal yang diupayakan mengglobal dengan menjadikan momen residensi saya sebagai landasan pacunya.