Kenangan akan sosok panutan ini turut pula dirasakan Prof Dr Ir H Anis Saggaff,MSCE, mantan rektor Universitas Sriwijaya (Unsri).
Anis bersama almarhum KH Kiagus Ahmad Nawawi Dentjik (Al-Hafidz) merupakan murid almarhum Abah Zen.
Anies menyebut almarhum merupakan salah satu sosok panutan yang kini susah untuk dicari penggantinya.
'Saya masih ingat betul beliau masih tinggal di Tangga Buntung, saya dan paman saya yang jemput beliau pake sampan bersama kyai Nawawi tiap malam Kamis di Langgar Nurul Islam beliau mengajarkan ilmu tauhid kepada kami,” kenang Anis menceritakan sosok sang guru yang dilahirkan di Palembang pada 10 Oktober 1919 ini.
Dari sekian banyak kenangan ketika berguru dengan almarhum yang paling tak bisa dilupakan Anis bersama sahabat kentalnya almarhum Kyai Nawawi yang juga dikenal sebagai seorang qori (pembaca dan penghafal kitab suci alquran) berprestasi di tingkat nasional ini ketika dirinya pamit hendak berangkat mengikuti Seleksi Tilawatil Quran (STQ) tingkat nasional tahun 1993 mewakili Sumsel.
Menurut Abah, ada empat kriteria orang yang membaca al quran yakni secara tekstual, intelektual, emosional dan spiritual dari keempatnya mereka yang membaca al quran secara spiritual merupakan tingkatan yang tertinggi. Artinya mereka yang tidak membaca al quran seolah mengalami kekosongan di dalam jiwanya,” imbuhnya.
Almarhum KH. M. Zen Syukri dilahirkan di Palembang pada 10 Oktober 1919 dari pasangan K.H. Hasan Syukur dan Nyimas Hj. Sholhah Aghari.
Zen Syukri mulai belajar agama sejak kecil di madrasah ibtidaiyah dan tamat pada tahun 1935.
Setelah itu, ia merantau ke Jawa Timur, ke sebuah pondok pesantren bernama Tebuireng, di Jombang. Karena ketekunannya, dalam waktu 3 tahun, ia khatam mengkaji berbagai kitab sekaligus.
Akhirnya, sang guru Kiai Hasyim Asy'ari rela melepaskan santri kesayangannya itu untuk kembali ke kampung halamannya pada tahun 1939 dan mengembangkan ajaran ahlusunnah di daerahnya serta untuk menggerakkan Nahdlatul Ulama (NU) di kawasan Sumatera.
Sebagai salah seorang santri Tebuireng dan murid Kiai Hasyim Asy’ari, ia mendapat posisi terhormat di pengurusan NU Palembang.
Kemampuan yang ia bawa dari Tebuireng bukan hanya penguasaan dan kemahiran dalam menyampaikan ilmu agama, tetapi juga kecakapan berorganisasi, sehingga NU di Palembang terus mencapai kemajuan.
Maka, pada tahun 1943 ia dipilih sebagai Ketua Tanfidziyah NU Cabang Palembang. Zen Syukri juga rajin mengadakan pengajian ke berbagai pelosok daerah.
Dengan dedikasi dan kedalaman ilmunya, pada tahun 1950 ia mendapat kehormatan untuk mengajar di Masjid Agung Palembang. Tidak mudah untuk dapat diterima sebagai pengajar di Masjid Agung kalau keilmuannya tidak benar-benar mumpuni.
Di sana, ia bertugas mengajarkan fiqih, tauhid, dan terutama tasawuf. Akhirnya, Zen Syukri menjadi pemimpin tertinggi serta imam di Masjid Agung.
Kesibukan mengelola Masjid Agung tidak menghambat aktivitas Zen di NU, bahkan ia diangkat menjadi pengurus NU Wilayah Sumatera Selatan dan terpilih menjadi Rais Am Syuriah (Ketua Umum Dewan Syuro) NU Wilayah Sumatera Selatan selama tiga periode, mulai 1984 hingga 1999.