Begitu benda yang diinginkan terangkat dari sungai, kolektor akan melengkapi kekurangan pembayaran. Soal harga, yah para kolektor itu yang menetapkan.
Edi tidak pernah menyurvei pasar untuk menakar harga benda berharga yang dia temukan.
BACA JUGA:Banjir Rawas Ilir Terus Menerus Datang, Warga: Seperti Tahun 1982 Lalu
BACA JUGA:WAH! Ternyata Ada Lumba Lumba Di Sungsang, Kok Bisa?
Menurut saja pada harga yang ditakar para kolektor dan tidak berusaha mencari pembeli dengan harga lebih mahal.
’’Tapi kalu kito lah dienjuk modal, dak mungkin kito nak jual dengan wong lain. Kito nih wong Melayu, Pak. Punyo hati. Dak mungkin kito khianat dengan wong yang sudah modali kito,” jelasnya.
Senada dipaparkan Hendri, adik Edi. Selama ini, area yang menjadi pusat penyelaman mereka adalah tengah Sungai sekitar Posko TNI-AL, kelurahan 1 ilir hingga kawasan Kemaro.
Dia bercerita sejak dulu sampai sekarang, para penyelam tradisional itu tidak menggunakan peralatan canggih untuk mencari harta karun.
Mereka hanya berbekal selang oksigen dan selang besar untuk mengisap lumpur di dasar sungai.
Untuk dua selang tersebut, mereka membutuhkan sepasang kompresor.
Satu kompresor digunakan untuk mengisap lumpur, satu kompresor lagi untuk memompa oksigen ke dalam sungai.
Tidak hanya peralatan penunjangnya yang sederhana, para penyelam tradisional juga sangat mengandalkan insting saat mencari harta karun.
BACA JUGA:Mengenal Kampung Kapitan, Permukiman Tertua Etnis Tionghoa di Palembang yang Penuh Jejak Sejarah
BACA JUGA:Tak Hanya Cantik, Keris Kyai Tenggara Milik Jokowi Juga Memiliki Filosofi Mendalam untuk Indonesia
Dasar sungai yang berlumpur membatasi jarak pandang mereka. Rata-rata para penyelam tersebut menyusuri sungai sedalam sekitar 30 meter itu dalam waktu minimal 30 menit.
’’Kita anak sungai. Menyelam adalah hal yang biasa. Luar biasanya ketika kita mencari harta karun saja. Karena sekali menyelam, bisa berjam-jam lamanya,” terang David.