PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID - Merasa tidak sesuai perjanjian awal, puluhan warga yang berasal dari Desa Penuguan Kecamatan Pulau Rimau dan juga Kecamatan Penuguan Selat, mendesak dan meminta instansi terkait untuk mencabut izin operasional dari PT Cahaya Vidi Abadi (CVA), sekaligus mendorong Kementerian ATR/BPN untuk mencabut sertifikat HGU di perusahaan yang bergerak di perkebunan kelapa sawit tersebut.
Yang mana, desakan ini terkait dugaan telah terjadi penggelapan aliran dana masyarakat plasma dan terindikasi juga ada mafia tanah terlibat di dalamnya. Ini diungkapkan oleh perwakilan warga Penuguan dan dari Badan Pengawas Koperasi Cahaya Bersama Sawit saat menggelar konferensi pers di Kantor Yayasan Bantuan Hukum (YBH) Sumsel Berkeadilan, pada Selasa (14/11) petang.
"Kita menduga keterlibatan oknum diduga mafia tanah ini terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif. Berawal saat lahan yang sebelum masuk ke dalam perusahaan tersebut merupakan lahan produktif serta ditanamin padi dan kelapa. Bahkan hasilnya untuk sekali panen padi, petani mendapat Rp 15-27 Juta. Sedangkan dari panen buah kelapa setiap tiga bulan berkisar 6-12 juta," ungkap H Laudin, perwakilan dari Badan Pegawai Koperasi Cahaya Bersama Sawit didampingi petani Plasma, M Sultoni, Selasa (14/11) malam.
BACA JUGA:Setelah Dicopot dari Ketua MK, Kini Anwar Usman Dilaporkan Pula ke KPK . Ini Sangkaannya..
Bahkan katanya, awalnya PT CVA ini masuk ke Desa Penuguan berjanji ke masyarakat akan mensejahterakan bila lahan miliknya tersebut ikut bergabung sebagai plasma dengan pembagian pola inti 60 persen dan plasma 40 persen dan pengerjaan kebun inti dan plasma dilakukan bersama-sama.
Hal ini tertuang dalam surat pernyataan di tanggal 20 September 2010 silam. Tidak itu saja, bahkan hal tersebut disampaikan oleh Dirut PT CVA Ir Jati Cahyono ke para tokoh masyarakat yang hadir saat pertemuan kala itu.
"Akibatnya, banyak warga yang bersedia ikut kerjasama dan bermitra dengan PT CVA ini. Bahkan masyarakat juga mengorbankan ke perusahaan, lahan yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat tersebut. Hingga pada akhirnya, 6 Januari 2011, terbit izin lokasi usaha perkebunan kelapa sawit PT CVA seluas 5.750 Ha yang dikeluarkan Bupati Banyuasin kala itu, Ir H Amiruddin Inoed yang berlokasi di Desa Penuguan Kecamatan Pulau Rimau," bebernya.
BACA JUGA:Porwil ke-XI Riau, Sumsel Duduki Posisi ke-4
Kemudian, kata Laudin tadi, 5 Desember 2016, Pemkab Banyuasin mengeluarkan daftar nama dari calon peserta perkebunan plasma yang berjumlah 375 orang dengan luas 898 Ha yang ditandatangani oleh Plt Bupati Banyuasin, SA Supriono.
Dari situlah terkuak, bahwasanya luasan lahan serahan masyarakat ke perusahaan sekitar 1.393 Ha yang tercantum di dalam Calon Peserta Plasma SK Bupati tadi.
"Semua data terkait lahan plasma yang di saat itu diserahkan ke perusahaan sekitar 1.393 Ha ini dibuat dan diserahkan sendiri oleh perusahaan. Dari sisi ini, ada potensi lahan masyarakat yang hilang sekitar 495 Ha. Bahkan tidak ada transparansi terkait hasil plasma yang merupakan hak anggota koperasi dan tanah masyarakat yang sudah ditanam dan dipanen oleh perusahaan. Di samping itu, hasil panen dari luas lahan 1.393 Ha tersebut sudah dilakukan sejak tahun 2019-2021 dengan perhitungannya yang tidak sesuai," terangnya.
BACA JUGA:5 Syarat Honorer jadi ASN, Berdasarkan Ketentuan UU Aparatur Sipil Negara 2023
Bukan hanya itu, berdasarkan hasil rapat di tanggal 13 April 2022 lalu, bahwasanya ke lahan plasma sekitar 400 Ha yang belum terbangun akan segera dibangun dengan komitmen dari pihak perusahan limit waktu paling lama 18 bulan sejak Juni 2022 lalu.
Sedangkan bila tidak juga terpenuhi, maka akan dipenuhi menggunakan lahan inti. Adapun untuk biaya pembangunan kebun plasma sebesar Rp 52,2 juta/hektar akan menjadi plafon hutang yang akan lunas pada tahun 2027 mendatang.
"Akan tetapi, sampai saat ini, masyarakat plasma tidak sekalipun juga tandatangani akad kredit plafond hutang pembangunan kebun plasma ke PT CVA ini," urainya.