PALEMBANG - Membahas pinjol berarti berbicara tentang pinjaman atau utang. Karena itu, Perencana Ke- uangan Safir Senduk mengajak publik lebih dulu memahami konsep berutang.
“Secara keuangan, utang itu hanya alternatif, tidak ada bagus atau jelek. Ada anggapan bahwa orang berutang itu berarti orang susah. Ya gak juga itu. Banyak pengusaha yang berutang dengan tujuan untuk memperbesar usahanya walaupun dia ada cash,” ujarnya, akhir pekan lalu.
Sayangnya, publik sudah sejak lama diajarkan bahwa utang memiliki konotasi negatif. “Kalau ngutang lalu dibilang ‘Kasihan deh kamu nggak punya uang’. Nah, saya gak setuju. Karena berutang itu bukan berarti nggak punya uang,” imbuh Safir.
Pinjol memungkinkan transaksi antara peminjam dan pemberi pinjaman terjadi tanpa harus bertemu. Itu membuat pinjol menjadi jujukan mereka yang kepepet butuh uang meskipun bunganya tinggi.
“Asal siap foto selfie dengan KTP, isi data-data, 5-10 menit langsung cair. Kalau ke bank kan lebih lama approval-nya,” jelas Safir.
Namun, kompensasi dari segala kemudahan itu adalah bunga pinjaman yang selangit. Belum lagi jika harus berurusan dengan debt collector. Kendati demikian, Safir menekankan pentingnya menepati komitmen untuk melunasi pinjaman dari pinjol.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen (PEPK) OJK, Friderica Widyasari Dewi menyatakan mereka yang terlilit pinjol adalah kelompok rentan. Di antaranya buruh, korban pemutusan hubungan kerja (PHK), ibu rumah tangga, dan pelajar.
OJK, lanjut dia, terus mengedukasi masyarakat terkait potensi kejahatan keuangan oleh kelompok yang tidak bertanggung jawab. Salah satunya pinjol ilegal. “Mereka masuk dan menyasar ma- syarakat melalui saluran-saluran komunikasi pribadi,” jelasnya beberapa waktu lalu.
Di sisi lain, Friderica menyebut ada casino mentality atau mentalitas orang berjudi yang ingin cepat kaya. Hal tersebut diperparah rendahnya literasi keuangan dan literasi digital masyarakat.”Jadi masyarakat masih belum bisa membedakan mana informasi yang benar dan mana yang tidak benar. Mereka belum teredukasi untuk memilih dan memilah. Belum lagi mentalitas FOMO (fear of missing out, red),” urainya.
Yang harus selalu diingat adalah membaca term and condition yang ditawarkan oleh aplikasi atau entitas pinjol. Dia mengimbau agar masyarakat benar-benar memahami persyaratannya sebelum menye- tujui layanan dari aplikasi keuangan.
“Intinya, legal dan logis. Aspek legalnya dulu, perhatikan legalismenya. Setelah itu, logis atau tidak. Semoga itu dapat membantu kita terhindar dari potensi sasaran serangan kejahatan keuangan siber,” tandasnya. (jp/fad)