SUMSEL – Dusun V Saruan jauh terpencil di atas perbukitan Desa Talang Merbau, Kecamatan Banding Agung, Kabupaten OKU Selatan, Provinsi Sumatera Selatan. Tetapi setiap hari anak-anak dari dusun itu turun gunung berangkat sekolah ke desa induk, menelusuri jalan setapak sejauh 3 km, selebar 1-1,5 meter di sisi bukit dan ngarai. Sementara orang tua mengendarai motor membawa hasil bumi kopi, lada, palawija menuju Pasar Banding Agung.
Ketika jauh mata memandang, mereka ngeri melihat jurang yang curam dengan pepohonan menjulang tinggi. Mendaki atau menuruni jalan Dusun Saruan seperti "bertaruh nyawa” lantaran tanpa pagar pengaman dan beberapa tepi jalan yang terbis. Jika hujan, jalan menanjak 45 derajat itu basah dan licin sehingga penduduk seperti terisolir, memilih tidak keluar dusun, karena turun bukit alamat terpeleset ke jurang.
Sehingga wajar jika puluhan tahun Dusun Saruan tak terjamah listrik walau sebenarnya Desa Induk Talang Merbau sudah teraliri sejak 2002. Gardu dan tiang listrik tak bisa dibangun ke sana. Kala itu, penduduk Saruan hanya pasrah hidup dalam kegelapan malam. “Namun kami tak bisa meninggalkan Saruan, karena dusun ini tanah kelahiran, tempat bermukim, dan kebun kami sebagai sumber makanan dan pendapatan menghidupi keluarga,” cerita Kepala Dusun Saruan, Suyatno, Sabtu (21/10).
Saruan semula hanya talang, ladang, atau kebun yang dibuka masyarakat sejak 1970. Kemudian berkembang dan ditetapkan menjadi dusun tahun 2014. Kalau mau dihitung, lanjutnya, sekitar 47 tahun penduduk Saruan hidup tanpa listrik, sampai tahun 2017. “Namun setelah itu hingga kini (2023) kami menjadi desa mandiri energi. Semuanya berkat keberadaan PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro) bantuan PT Pertamina (Persero) yang masuk ke dusun,” kata pria kelahiran 1967 itu.
Walaupun aksesnya sulit di antara jurang di atas bukit, tetapi BUMN energi itu gigih dan rela membangunkan infrastruktur PLTMH melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Desa Energi Berdikari (DEB). “Pertamina mewujudkan mimpi kami “merdeka” dari gelapnya malam. Kini semua rumah di Dusun Saruan sudah teraliri listrik PLTMH,” imbuhnya.
Sebelumnya, cerita Suyatno, ada 2 warga memiliki genset tapi berkapasitas kecil dan biayanya mahal. Genset biasa digunakan saat sedekahan atau mau menghidupkan TV malam hari. “Orang tua dan anak-anak biasa berkumpul di rumah warga yang punya genset dan TV. Mereka menonton bersama dari jam 7 hingga 11 malam,” ujarnya.
Setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing, genset dimatikan. Bahan bakarnya seliter bensin untuk hidupkan TV 2-3 jam, sementara harga bensin eceran saat itu Rp7 ribu per liter, berarti butuh biaya Rp14 ribu per 2 liter bensin setiap kali nonton bersama. Untuk penerangan, warga menggunakan lampu minyak teplok. “Minyak tanahnya kami beli, seliternya masih Rp1.000,” tutur Suyatno.
Selain genset, sebenarnya juga ada pembangkit listrik kecil yang dipasang dosen dan mahasiswa KKN Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP) tahun 2010. “Mereka menginstalasi PLTMH. Katanya mereka bawa mesin, turbin, generator, kabel dari Pagaralam ke sini. Cuma kurang stabil sehingga waktu itu jarang digunakan. Kapasitas dayanya 5 kWh, hanya cukup untuk lampu 14 rumah dan menyalakan 4 TV. Masih 22 rumah belum mendapat listrik,” imbuhnya.
Barulah di tahun 2017, petugas PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Refinery Unit (RU) III Plaju masuk ke Dusun Saruan. “Kami tidak tahu menahu, mungkin saat itu dosen UMP yang mengusulkan. Saya bertemu orang Pertamina atau ke kantornya saja belum pernah, apalagi mau minta bantuan,” lanjutnya. Pertamina pun membangunkan rumah pembangkit (power house) di pinggir Sungai Saruan, sekitar 3 km dari pemukiman berikut pipanisasi, sambungan kabel, dan 200 tiang listrik.
“Di sana ada curup yang jatuh ke sungai. Air terjunan itu kita manfaatkan untuk menggerakan turbin (baling-baling) PLTMH, yang masuk melalui 7 pipa air setebal 8 inch sepanjang 4 meter. Pipa tersambung dari air terjun ke rumah pembangkit,” ujarnya. Putaran turbin menghasilkan energi mekanik, menggerakan generator, dan memproduksi listrik 10 kWh.
“Hingga saat ini PLTMH tetap lancar memproduksi listrik untuk menerangi 36 rumah warga, termasuk kandang ternak. Listriknya langsung disalurkan melalui sambungan kabel,” sebutnya. Biasanya setiap rumah memasang 5-6 lampu penerangan, ditambah alat elektronik seperti TV, radio, magic com, atau setrika. Sejak itu pula warga tak lagi menggunakan genset atau lampu teplok.
“Sekarang kami pun sering gelar pengajian setiap malam di mushola yang juga bantuan Pertamina. Anak-anak ceria belajar, muda-mudi menghibur diri menonton TV, bapak-bapak mendengar radio, sementara ibu-ibu lebih ringkas memasak nasi dengan magic com,” tuturnya. Pembangkit listrik dari UMP sendiri dialihkan untuk memompa air sungai ke rumah-rumah.
Namun PLTMH hanya dihidupkan mulai sore hingga jam 7-8 pagi. “Setiap hari ada 2 petugas piket bergiliran. Masing-masing, sore hari menghidupkan (buka katup pipa, red) PLTMH, pagi hari mematikannya,” bebernya. Kecuali jika ada warga hajatan, bisa terus dihidupkan seminggu.
Perawatannya pun gampang. Secara berkala, ketika sampah menumpuk di pintu air petugas membersihkannya. Ada kerusakan alat atau komponen akan diganti. “Pertamina sudah melatih kami cara merawat dan memperbaiki PLTMH. Biaya pemeliharaan dari iuran warga Rp20 ribu per bulan, tetapi bayarnya tahunan setelah panen kopi atau lada,” imbuhnya.
Memang rata-rata mayoritas penduduk Dusun Saruan berkebun kopi. Ada yang punya lahan ¼ hingga 2 hektar, dengan produksi 3 kuintal-1 ton setahun. Harga kopi sekitar Rp30 ribu per kg, berarti pendapatan petani Saruan antara Rp9 juta-Rp30 juta per tahun.