*5 Kecamatan, 47 Desa Terdampak Pencemaran
*Tambang Emas Liar Rusak Ekosistem Dua Sungai Besar
MURATARA – Dua sungai besar di wilayah Sumatera Selatan (Sumsel) terus tercemar. Sungai Rawas dan Sungai Rupit. Lokasinya di Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara). Ilirnya tersambung ke Sungai Musi. Pencemaran terjadi sejak melejitnya harga emas 24 karat di awal 2018. Ketika itu, aktivitas tambang emas illegal mulai marak. Tak hanya oleh warga Muratara, tapi juga pemodal/cukong dari luar daerah. Jumlah lokasi tambang illegal terus bertambah. Dari 170 kini jadi 200 titik. Mulai dari anak-anak kedua sungai besar itu, seperti aliran Sungai Tiku, Sungai Minak, hingga Muara Kulam di Kecamatan Ulu Rawas. Pertambangan ilegal itu telah merusak lingkungan. Dua sungai besar itu tercemar parah. Entah sudah berapa banyak zat merkuri, katalisator pemisahan emas bercampur dengan air kedua sungai itu. Yang jelas, tingkat kekeruhan dan kadar zat-zat kimia di dalamnya sangat tinggi. Pada bagian ulu kedua sungai itu, airnya masih begitu jernih. Sedangkan di ilir, cokelat pekat campur lumpur. Ekosistem sungai itu rusak parah. “Ikan semah baung, ikan khas di dua sungai itu bahkan tak lagi ditemukan sekarang,” kata Karni, warga Rupit, Muratara, kemarin. Pencemaran ini dampaknya dirasakan warga 5 kecamatan dan 47 desa. BACA JUGA : Banyak Masuk Pemodal Luar Kelima kecamatan yakni Karang Jaya, Rupit, Karang Dapo, dan Rawas Ilir. Dengan jumlah penduduk di Kecamatan Karang Jaya 9241 Kepala Keluarga (KK), Kecamatan Rupit 11.058 KK, Rawas Ulu 11.166 KK, Karang Dapo 6.434 KK, dan Rawas Ilir 8.690 KK. Tercemarnya dua sungai ini sudah menyebabkan masalah kesehatan. Tak terhitung masyarakat yang terkena penyakit kulit. Di awal 2023 lalu, sempat termonitor sejumlah pengaduan warga. Mereka terpapar Varicella zoster, semacam cacar air atau cacar api. Penyakit menular ditandai dengan bentol-bentol berisi cairan yang terasa sangat gatal dan panas di seluruh jaringan kulit. Mengakibatkan iritasi. “Waktu itu, warga yang kena diminta isolasi diri selama 14 hari dan tidak keluar rumah,” tambah Karni. Warga menuding jika penyakit kulit itu dampak pencemaran dari penambangan emas liar yang menggunakan zat-zat kimia seperti mercury. Tuti warga Kecamatan Rupit yang sempat di bincang, mengungkapkan hampir seluruh keluarganya terpapar penyakit serupa. “Seluruh, di sela kaki, tangan kena semua, gatal perih dan panas. Kalau di obati nanti sembuh tapi akan terus mengulang lagi,” katanya. Warga mengaku tidak terlalu paham bahaya mercury bagi kesehatan. “Tapi katanya biso keno kanker. Kalau benar, tolong lah pemerintah segera bertindak. Jangan dibiarkan lagi,” timpal Sapran. Menurutnya, perlu langkah nyata untuk menyelesaikan masalah ini. “Kan mudah saja. Kalau tidak ada izin, artinya illegal. Proses hukum,” bebenya. Saat ini, sudah banyak warga tak lagi mau menggunakan air sungai yang tercemar itu. “Ngeri. Tak lagi untuk mandi, cuci, kakus (MCK). Apalagi untuk minum, masa bisa,” cetus Andri. Sedikit beruntung bagi warga yang tinggal di ulu sungai. Airnya masih cukup jernih dan layak untuk MCK. “Tidak ada yang dilarang cari makan atau nyari rezeki, tapi jangan bikin orang lain susah. Kami di ilir paling menanggung dampaknya,” timpal dia. Tokoh masyarakat Muratara, H Nawawi mengungkapkan, ada banyak cara dan pilihan dalam penyelesaian masalah pertambangan emas ilegal itu. “Pemda libatkan semua elemen. Termasuk tokoh adat, tokoh agama, akademisi, pegiat sosial dan lingkungan, penegak hukum dan lainnya,” tegasnya. Hasil penelitian mahasiswa program pascasarjana (S2) UIN Raden Fatah Palembang, Lestari, Aneke (2021) menyimpulkan, kadar mikroba dan bakteri Coliform di Sungai Rupit sudah melebihi standar baku mutu. Penelitian ini dilakukan secara deskriftif analitik, metode Most Probable Number (MPN) dan Total Plate Count (TPC). Total mikroba yang ada di wilayah ilir, tengah dan ulu sungai itu memiliki kadar yang tinggi.<asing-masing bernilai 108,7 x 105 CFU/ml, 12,7 x 105 CFU/ml dan 6,6 x 105 CFU/ml. Sedangkan nilai kadar cemaran bakteri Coliforrm dan Escherichia coli di perairan Sungai Rupit wilayah Kecamatan Karang Jaya ilir, tengah dan ulu masing-masing sebesar 585 CFU/100 ml, 2400 CFU/100 ml, dan 1557 CFU/100 ml. Dengan begitu, air Sungai Rupit tidak lagi higienis untuk keperluan MCK sesuai standar sanitasi yang ditetapkan dalam Permenkes Nomor 32 Tahun 2017. Pelaksana tugas (Plt) Kepala DLHP Kabupaten Muratara, Musliha melalui Kabid PPKLH, Renov Sianipar mengungkap, pos terapung sudah difungsikan sejak 1 Juni 2023.
Kategori :