SUMATERAEKSPRES.ID - Untuk kesekian kali kita semua dihentakan oleh satu “akrobat hukum” yang menisbikan profesionalisme direksi Perusahaan. Direksi ASDP dituntut meski akhirnya mendapatkan rehabilitasi. Nampak ketiadaan rasa bersalah, KPK bersikukuh merasa benar atas apa yang telah dilakukan.
Setelah dilakukan Rehabilitasi terhadap Direksi ASDP Ibu Ira Puspadewi dkk, oleh Presiden Prabowo bersama DPR, Pimpinan KPK melalui Juru Bicara Budi Prasetyo menyatakan sikap tetap pada pendirian mereka. KPK yakin bahwa fakta hukum di persidangan tetaplah fakta hukum bahwa Ibu Ira Puspadewi dkk telah melakukan perbuatan melawan hukum, walau mereka diberikan rehabilitasi.
Sikap seperti ini menurut saya, telah menapikan keputusan Presiden yang mendapatkan masukan dari masyarakat dan DPR, setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung dalam memberikan rehabilitasi bagi Ibu Ira Puspadewi dkk. Meskipun rehabilitasi merupakan keputusan politik, hak istimewa Presiden, namun pertimbangan utamanya adalah memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat, kepentingan yang lebih besar. Saya sendiri secara aktif melakukan penggalangan tandatangan agar Presiden turun tangan memberikan atensi atas kasus bu Ira Puspadewi dkk.
BACA JUGA:Kerja Cepat Inspektorat: Prabumulih Naik Drastis di MCSP KPK, Target Masuk 10 Besar
BACA JUGA:Penyidik KPK Temukan Cukup Bukti, Kembali Tahan 4 Tersangka Baru kasus Fee Proyek di OKU
Menurut Jubir KPK, ada 12 perbuatan melawan hukum dilakukan Direksi ASDP dan merupakan fakta hukum. Tetapi ingat, harusnya KPK juga jujur untuk mengakui ada 2 fakta hukum lainnya yaitu pertama, tidak ada niat jahat (mens rea). Kedua, tidak menerima apapun dari transaksi tersebut. Keduanya penting disampaikan ke ruang publik, agar masyarakat tidak salah memberikan penilaian.
Pertanyaannya, apakah 12 fakta hukum yang diindikasikan oleh KPK melawan hukum, pantas dipidana, atau tidak, karena yang tertera dalam tuntutan Jaksa dan keputusan Hakim bahwa para terdakwa tidak ada niat jahat (mens rea)? Selain itu terdakwa tidak ada menerima sesuatu atas transaksi tersebut, dan hanya dinyatakan lalai yang merugikan keuangan negara dan menguntungkan korporasi/Owner PT. JN. Semua itu didasarkan atas pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 UU Tipikor; penulis berpandangan pasal karet yang menjerat siapapun walau tidak ada sedikitpun keuntungan pribadi.
Pengalaman sebagai Direksi BUMN dengan berbagai kasus dan pernah mengalami kriminalisasi juga dari APH, dan pengalaman dalam mengakuisisi beragam perusahan, yakin benar bahwa judgement akuisisi oleh Direksi ASDP, diambil berdasarkan data yang sudah dianalisis. Keyakinan dan Pengalaman Direksi ASDP memang tidak mudah dipahami orang lain di luar sistem PT. ASDP, apalagi penyidik KPK yang hanya melihat hitam putih dengan kacamata kuda. Seorang pebisnis harus memiliki intuisi. Akurasi intuisi tersebut berdasarkan pengalaman yang tidak singkat dan sudah teruji. Harusnya dengan fakta hukum pada saat penyelidikan tidak ada niat jahat dan tidak ada menerima apapun dari akuisisi tersebut, atas perbuatan yang dilakukan oleh Direksi ASDP, tidak layak lagi dinaikkan ke penyidikan. Tapi inilah penegakan hukum di Indonesia, Jaksa selalu pada pendapatnya, “nanti kita uji di pengadilan”. Jaksa yang menyidik kasus ini tidak merasakan sakitnya dijadikan tersangka, dituduh korupsi, nama baik serta merta menjadi hancur. Banyak kasus, keluarga/kehidupan mereka hancur, karena tuduhan yang semena-mena yang dilakukan APH.
BACA JUGA:Pengembangan OTT OKU, KPK Tetapkan Wakil Ketua dan Anggota DPRD sebagai Tersangka Baru
BACA JUGA:Rakor KPK–Pemprov Sumsel: Sinyal Merah, Seruan Berbenah, dan Harapan Layanan Publik Bebas Korupsi
Menarik untuk mendiskusikan 12 tuduhan KPK tersebut sebagai media edukasi agar kasus serupa tak terulang kembali di masa yang akan datang, sebagai berikut :
-
Mengubah RKAP secara tiba-tiba dari “pembangunan kapal menjadi akuisisi perusahaan”.
RKAP disusun dengan berbagai asumsi baik micro maupun macro, disahkan oleh Pemegang Saham dalam forum RUPS merupakan acuan bagi direksi untuk menjalankan perusahaan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Apabila dalam kondisi tertentu asumsi-asumsi tersebut sudah tidak sesuai lagi, maka kapanpun RKAP bisa saja dilakukan perubahan / revisi oleh Direksi.
Ada 2 mekanisme yang biasa ditempuh oleh Direksi, yaitu 1) Mengusulkan rencana perubahan tersebut kepada Dewan Komisaris, untuk kemudian mengajukan surat tertulis kepada Pemegang Saham, yang ditandatatangani oleh Direktur Utama bersama Komisaris Utama. 2) Dipertanggung jawabkan oleh Direksi bersama Komisaris dalam Forum RUPS Acquit et de charge atas Kinerja Perusahaan pada tahun tersebut.
Perubahan RKAP tersebut bukan tindak pidana sepanjang bukan dimaksudkan untuk kepentingan Pribadi/menguntungkan pribadi atau didasarkan pada niat jahat/mens rea. Apalagi merubah keputusan Direksi, yang merupakan kewenangan Direksi.
-
Kategori :