Jika Bandingkan Anak, Ini Akibatnya
MEMBANDINGKAN ANAK: Perilaku membandingkan anak dengan saudara atau anak orang lain akan menurunkan keyakinan anak.--
PALEMBANG, SUMATERAESKPRES.ID - Setiap anak punya kelebihan masing-masing. Jangan disamakan satu anak dengan anak yang lain. Karena ini kurang bijaksana dan hanya akan menyakitkan hati sang anak.
Setiap anak istimewa. Kalimat ini harus dicamkan para orang tua. "Aku punya dua anak sifatnya sangat beda. Kalau si sulung lebih mandiri, sementara si bungsu sedikit malas, " ujar Indah, ibu dari dua anak.
Diakuinya, saat dirinya sedang kesal dengan kelakuan si bungsu tanpa disadari dirinya sering membandingkan dengan si sulung. "Saya sering minta agar si bungsu meniru di sulung. Kata-kata ini terkadang bukan membuatnya sadar tetapi malah membuatnya semakin terpojok," katanya.
BACA JUGA:Bentuk Kekesalan
Dr Anrilia Ema MN SPsi MEd, psikolog Magna Penta Consulting, RS Hermina dan RSUD Siti Fatimah mengatakan, orang tua diminta jangan membanding-bandingkan anak. Baik membandingkan dengan saudara atau orang lain.
Dikatakan, membandingkan dengan orang lain yang kondisinya belum tentu sama tentu tak akan bijaksana. "Ini malah kurang mendukung proses pembelajaran, " ujarnya.
Dikatakan, cara mengarahkan dan membentuk perilaku anak bisa menggunakan prinsip-prinsip teori belajar (learning theory). Prinsip teori belajar tersebut antara lain tentukan target perilaku secara jelas. Misalnya, melatih anak bisa ke kamar kecil saat ingin buang air kecil.
Kemudian beri pemahaman anak mengenai perilaku yang diharapkan, misalnya, menjelaskan saat ingin pipis yang dilakukan adalah bilang ke ibu atau menunjuk kamar mandi, dan lainnya. "Untuk memperkuat proses belajar, berikan contoh sesuai target perilaku yang diharapkan. Orang tua bisa mencontohkan saat ingin buang air kecil, segera ke kamar mandi," jelasnya.
BACA JUGA:Ajak Santri di OKI Mengedepankan Nilai Agama dalam Perilaku Sehari-hari
Pada tahap ini, orang tua lebih disarankan memberi contoh mengenai perilaku yang diharapkan daripada membandingkan dengan anak lain atau orang lain, karena sifatnya abstrak dan sulit dipahami anak.
Dalam fase ini, orang tua mulai melatih dan mengamati kemajuan. "Jika anak belum mampu melakukan perilaku target, ulang-ulangi terus. Jangan berikan hukuman untuk membentuk perilaku," sambungnya lagi.
Berikan penguatan perilaku berupa reward saat anak berhasil melakukan perilaku target yang diinginkan meskipun sederhana.
"Pilih reward kecil yang menyenangkan anak. Misalnya, beri sticker gambar lucu, makanan sehat kesukaan anak, dan lainnya. Hal ini guna agar anak semakin termotivasi," ungkapnya.
Dijelaskan, sering kali sebagai orang tua, mendisiplinkan anak dengan cara memarahinya maupun membandingkan perilakunya dengan anak lain yang lebih baik.
‘’Harapannya adalah agar anak lebih termotivasi untuk bersikap lebih baik. Padahal, sikap tersebut dapat menurunkan keyakinan diri anak, dan tidak membuatnya memahami alasan sebenarnya di balik perilaku yang harus ia lakukan," ungkapnya.
Misalnya, anak dimarahi saat ia memanjat jendela. Si anak pun tak memanjat jendela, bukan karena ia paham bahwa itu berbahaya, melainkan karena didorong rasa takut dimarahi jika ia memanjat jendela tersebut.
“Sebaiknya yang dilakukan orang tua. Pertama, biarkan anak menerima konsekuensi atas perilakunya. Misalnya, ia lari-lari lalu terjatuh. Maka ia menerima konsekuensi (yaitu jatuh) atas perilaku lari-larinya. Dengan demikian, kali berikutnya pun ia akan lebih berhati-hati dalam berlari-lari,"ucapnya.
Kebiasaan ini dengan catatan, lanjutnya, bukan artinya membiarkan anak berperilaku yang membahayakan. "Misalnya lagi manjat-manjat kita diamkan. Tapi kita awasi jelaskan bahayanya jika ia sampai terjatuh," urainya.
Lebih jauh dijelaskannya, untuk anak yang lebih besar, orang tua dapat menjalin komunikasi membahas mengenai perilakunya. Misalnya saat ia melakukan kesalahan, bisa tanyakan kepadanya. "Saat ia merebut mainan punya orang lain, menurut kamu, jika kamu mengambil mainan punya teman kamu seperti tadi, bagaimana perasaan temanmu?”ucapnya.
Jadi jika anak berbuat kesalahan tak perlu langsung memarahi, karena hanya akan membuat anak menolak penjelasan diberikan jika dilakukan dengan cara yang keras. "Terpenting adalah membangun pemahaman dalam diri anak, bagaimana perasaanmu jika mainanmu diambil seperti itu?” tandasnya. (nni/*)