https://sumateraekspres.bacakoran.co/

Harus Dilestarikan

"Meski sudah sangat jarang, tapi tradisi ini masih bisa ditemui pada beberapa lokasi. Seperti Kelurahan Kuto Baru, 26 Ilir, Kelurahan 14 Ulu Kampung Arab hingga di daerah 1 dan 2 Ulu,"

Kiagus Abdullah Syafe’i Tokoh budaya Palembang

Tradisi Lebaran di Provinsi Sumsel sebagian masih ada saat ini. Dilestarikan turun temurun. Tokoh budaya Palembang, Kiagus Abdullah Syafe'i, mengatakan, biasanya tradisi Rumpak-Rumpakan atau dalam bahasa Indonesia bermakna saling kunjung mengunjungi ini dilaksanakan usai salat Ied. 

Biasanya, tradisi Rumpakan ini diiringi dengan tabuhan Rebana. Jemaah secara berombongan mampir dari satu rumah ke satu rumah untuk silaturahmi. Makanya, tidak heran semakin banyak jemaah yang ikut serta akan semakin lama pula Rumpakan berlangsung.

Ditambahkan Syafei, biasanya tradisi ini dilakukan dalam satu hari. Pada hari pertama Idulfitri atau Iduladha. Kegiatan ini, dikomandoi para tetua atau tokoh yang dituakan diikuti oleh para pemuda di lingkungan tersebut.

Terpisah, Mario Andramatik, salah pemerhati budaya Lahat, menjelaskan tradisi Pantauan merupakan warisan budaya masyarakat kabupaten itu. Karenanya wajib untuk dilestarikan.  BACA JUGA : Perbedaan adalah Rahmat

“Tradisi Pantauan biasanya dilakukan di pedesaan ketika ada acara resepsi pernikahan dan musibah kematian. Tapi saat ini tradisi pantauan juga dilakukan di perkotaan ketika Lebaran Idulfitri,” paparnya.

Budayawan Sumsel,  Dr Erwan Suryanegara MSn mengatakan, pada umumnya tradisi di Sumsel sama saja. “Kita termasuk suku melayu, jadi tidak hanya di Sumsel. Di Bengkulu, Lampung, Jambi dan Bangka Belitung termasuk Kepulauan Riau yang notebene-nya merupakan rumpun melayu, tradisinya agak mirip-mirip,” jelas dia. 

Boleh jadi di Sumsel beda-beda etnik atau suku. Tapi, terkait Lebaran cenderung tidak ada perbedaan. “Kalau kita lihat kuliner sama. Walaupun mereka berbeda etnik. Misalkan dari Komering, Sekayu, Lahat, ketupat, opor sama,” ujarnya. 

Lebaran merupakan satu kesatuan dengan ajaran keimanan masyarakat muslim Sumsel. “Karena itu, perbedaaannya sedikit sekali. Karena konsep silaturahim, saling maaf-memaafkan. Sama,” imbuh Erwan. Tradisi silaturahmi menurutnya sudah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya. 

Bahkan pada abad ke-3 Masehi, sudah ditemukan tiang-tiang bekas rumah panggung di daerah Banyuasin. Saat Lebaran, ada tradisi “nurun makanan ke masjid’. “Tradisi memberi jemaah masjid makanan, oleh warga yang tinggal di rumah panggung, Rumah Limas, Rumah Ulu atau Rumah Bari kalau di Lahat. Tiang rumah panggung ini sudah ada abad ke-3. Artinya silaturahmi Lebaran juga sudah mulai dilakukan sejak dulu,” tandas Erwan. (kms/gti/iol)   

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan