Kambing Gemuk
SETELAH berbuka puasa di Rich Hotel, saya mendadak dapat tugas dari manajer saya: harus ke Jakarta esok paginya. Tidak bisa dibantah. Pilihannya: malam itu juga saya ke Jakarta. Pakai mobil. Atau besok paginya saya naik pesawat dari bandara baru Yogyakarta. Berarti harus pisah dari istri.
Saya pilih yang berpisah. Apalagi saya begitu ingin merasakan seperti apa hebatnya bandara baru Yogyakarta. Pun seandainya tidak ada perintah mendadak ke Jakarta. Saya akan mampir ke bandara itu. Sekadar melihat-lihat. Toh jadwal Safari Ramadan hari itu ke arah Tasikmalaya.
Berarti dari Yogyakarta harus lewat Kebumen, Gombong, dan Ciamis. Tak ada salahnya mampir sebentar ke bandara baru. Sekalian mencoba jalur jalan selatan Jateng.
Ternyata saya harus ke Jakarta. Justru harus ke bandara itu. Tidak sekadar mampir melihat-lihat. Bagaimana dengan istri dan geng beliau?
Istri pilih meneruskan rencana Safari Ramadan, dengan jalan darat ke Tasik. Istri mengantar saya sampai bandara. Juga diantar teman lama Aqua Dwipayana. Benarlah yang Anda sudah tahu: bandara itu jauh sekali. Dari Yogyakarta ke arah Kulon Progo. Lalu ke wilayah Purworejo. Lebih satu jam perjalanan. Maka banyak orang pilih naik kereta khusus dari stasiun Tugu. Langsung ke bandara ini: 30 menit.
Dalam perjalanan saya mengingat-ingat: bandara mana saja di dunia ini yang jauhnya seperti Yogyakarta. Oh, banyak: Narita, Tokyo. Wuhan, Tiongkok. Dan yang saya rasakan paling jauh: bandara Lanzhou di provinsi Gansu nun jauh di barat Tiongkok.
Bandara-bandara itu benar-benar jauh. Satu jam perjalanan. Padahal jalannya mulus dan lancar. Yang Lanzhou lebih dari satu jam.
Letak bandara Yogyakarta sebenarnya tidak jauh: secara kilometer. Hanya sepelemparan batunya Hulk. Saya alpa menghitung: di berapa puluh lampu bang-jo harus berhenti, berapa ratus truk harus dibuntuti, berapa ribu sepeda motor harus dijaga perasaan mereka. Belum lagi berapa banyak papan nama soto dan bakso yang harus dibaca istri saya di pinggir jalan yang tidak lebar itu. Jaraknya sendiri, dari Malioboro, hanya 40 km. Sekitar 20 menit kalau ada jalan tol.
Desain bandara ini, saya suka. Modern dicampur tradisional yang terasa menyatu. Tinggal lingkungan bandara, yang begitu luas, masih terasa sangat gersang. Sabarlah. Ini Yogyakarta.
"Sugeng tindak," itulah kalimat mencolok yang langsung terbaca ketika saya turun di bandara. Saya pun berfoto di situ. Merangkul istri. Seolah akan berpisah lama. Di latar belakang nan jauh terlihat gapura khas kraton Ngayogyokarto Hadiningrat.
Saya cepat bertemu teman baru di bandara itu: para rektor Universitas Islam Negeri. Ada yang dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ada yang dari UIN Purwokerto yang saya lupa pakai nama Sunan yang mana. Hari itu semua rektor UIN kumpul di Padang. Berarti saya bisa terus ngobrol dengan mereka di dalam pesawat. Akan sama-sama turun di Halim. Saya langsung ke tempat rapat. Mereka transit ke Padang.
Setelah menghadiri dua rapat di Jakarta saya menyusul istri ke Tasikmalaya. Jalan darat. Berarti masih bisa makan malam dengan istri di Tasik. Makan malam yang lebih malam. Perhitungan saya, istri tiba di Tasik menjelang berbuka puasa. Saya tiba setelahnya.
Sepanjang perjalanan Jakarta-Tasikmalaya, istri bisa mengikuti perjalanan saya lewat live share loc.
Dia bisa tahu saya sudah sampai di mana. Harapan saya, istri bisa berbuka dulu ala kadarnya lalu makan malam kegemaran bersama: sate anak kambing gemuk. Anda sudah tahu di mana: di Kambing Soon.
Ketika saya sudah melewati Nagrek, istri dan tim Radar Tasikmalaya mulai berangkat ke Kambing Soon. Ketika saya sampai di Malangbong istri menunjukkan gambar sate yang siap disajikan. Saya juga berbuka dulu ala kadarnya di rute itu.
Siang tadi, lokasi rapat saya yang pertama di Jalan Sudirman. Rapat kedua, di restoran Seribu Rasa, Menteng. Yang kedua itu rapatnya sambil makan siang –bagi yang tidak berpuasa.
Saya pilih dibungkuskan saja: pathai, oyster telur, daun ketela masak melayu, dan nasi putih. Terlalu banyak. Tapi siapa tahu tidak akan sempat mencapai sate. Anda tahu, kelancaran jalan menuju Tasik tidak bisa ditebak. Terutama antara Nagrek dan Ciawi. Dan lagi, semua itu, kalau perjalanan lancar, bisa untuk pengemudi yang juga berpuasa.
Sebelum Malangbong saya lihat ada masjid kecil yang halamannya luas. Juga terlihat bersih. Suara bacaan Quran menjelang magribnya keras, lewat pengeras suara. Kesan saya: masjid itu ramai. Banyak yang bersiap berbuka bersama.
Sejak Nagrek tadi hujan turun renyai-renyai. Jenis hujan yang akan awet. Kami mampir masjid itu. Saya ambil air wudu. Sendirian. Sopir mencari tempat parkir. Habis wudu saya masuk masjid. Celingukan. Tidak ada satu pun orang. Bacaan Quran yang keras tadi ternyata dari rekaman yang berbunyi otomatis. Jadi kalau suara dari pengeras suara dilarang, yang akan marah hanya rekaman itu.
Sampai saatnya berbuka puasa bacaan Qurannya masih belum berganti azan. Saya kembali melihat layar HP. Sudah waktunya berbuka. Saya pun minum air putih tanpa menunggu rekaman azan. Satu botol. Lalu minum obat. Yakni obat yang terkait dengan transplantasi hati saya 18 tahun lalu.
Saya pun salat magrib sendirian. Lalu menuju mobil. Barulah azan magrib terdengar bergema dari masjid. Pak sopir pilih percaya pada pengeras suara otomatis itu.
Hujan masih renyai-renyai. Kami meneruskan perjalanan ke arah Tasik.
Saya nyaris hafal lika-liku jalur Nagrek-Ciawi-Tasik-Ciamis. Sering ke wilayah ini. Dulu. Termasuk tidur di desa Cibiyuk. Di rumah penduduk. Merasakan aslinya sambal Cibiyuk yang terkenal itu.
Begitu hujan tidak berhenti juga, saya tidak terlalu berharap bisa bergabung di sate.
Ternyata malam itu lancar sekali. Mungkin doa istri saya terlalu kuat. Sekuat aroma sate yang memanggil-manggil hidung lapar. Dari sejauh Ciawi pun hidung saya terasa kemasukan asapnya. Ciawi-Tasik tinggal 30 menit.
Saya cicipi oyster Seribu Rasa sedikit. Saya cicipi pathay-nya sedikit. Saya tidak sentuh nasi putih dan sayur daun singkong lembutnya. Saya pilih tunggu sate. Tiap hari pun begitu. Saya berbuka puasa hanya dengan air putih dulu. Saya terikat peraturan: baru boleh sentuh makanan setelah satu jam minum obat itu. Hanya selama puasa ini, satu jam itu saya jadikan 30 menit. Sate, hujan renyai-renyai, perut lapar, ketemu istri, bercanda dengan teman-teman Radar Tasik, nikmat yang mana lagi yang masih harus didustakan.(*)