Demokrasi dalam Jebakan Materialisme Ketika Suara Ditebus dengan Uang
Otoman SS M.Hum Dosen Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab & Humaniora UIN Raden Fatah Palembang-foto: ist-
SUMATERAEKSPRES.ID - "In an age of materialism, the very notion of democracy is at risk; when money speaks louder than the voices of the people, genuine democratic engagement suffers.” (West, C., 2004. Democracy Matters: Winning the Fight Against Imperialism).
Pernyataan Cornel West bahwa "di era materialisme, konsep demokrasi itu sendiri berada dalam risiko; ketika uang berbicara lebih keras dari pada suara rakyat, keterlibatan demokratis yang sejati menderita." Dalam kontek sini, West menyoroti bagaimana dominasi kepentingan ekonomi dapat menggeser kekuasaan politik dari tangan rakyat ke tangan korporasi dan elit ekonomi.
Salah satu implikasi dari pernyataan ini adalah bahwa materialisme mendorong pengutamaan keuntungan finansial di atas nilai-nilai demokrasi. Dalam sistem di mana uang memiliki pengaruh besar, kebijakan publik sering kali dirancang untuk menguntungkan segelintir orang yang memiliki kekayaan, bukan untuk kepentingan masyarakat luas. Hal ini menciptakan ketimpangan yang signifikan dalam pengaruh politik, di mana suara rakyat tereduksi menjadi tidak lebih dari formalitas.
Keterlibatan rakyat dalam proses politik juga terancam oleh pengaruh materialisme. Ketika individu merasa bahwa suara mereka tidak berarti di hadapan kekuatan finansial, apatis dan ketidakpedulian terhadap politik pun meningkat. Akibatnya, partisipasi dalam pemilihan umum dan kegiatan politik lainnya menurun, sehingga mengikis fondasi demokrasi itu sendiri.
BACA JUGA:Kapolres Lahat Imbau Jaga Etika Selama Debat Publik Paslon Bupati Demi Demokrasi Sehat, Ini Katanya!
West menekankan bahwa untuk menyelamatkan demokrasi, diperlukan upaya untuk mengembalikan suara rakyat ke dalam panggung politik. Ini berarti memperjuangkan keadilan sosial dan memastikan bahwa setiap individu memiliki akses yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan komunitas dan organisasi sipil menjadi sangat penting dalam melawan pengaruh materialisme dan menciptakan kesadaran kolektif.
Demokrasi di Indonesia, meski telah berlangsung lebih dari dua dekade, masih dihadapkan pada berbagai tantangan, salah satunya adalah praktik politik uang. Fenomena ini tidak hanya mencederai nilai-nilai demokrasi, tetapi juga mengakibatkan munculnyamasyarakat yang semakin materialistis. Dalam opini ini, kita akan mengurai factor penyebab munculnya jebakan materialisme dalam demokrasi, dampaknya terhadap kehidupan politik, serta usaha-usaha penanggulangan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki situasi ini.
Faktor Penyebab
Salah satu penyebab utama praktik politik uang adalah kultur politik yang sudah mengakar dalam masyarakat. Banyak orang di Indonesia menganggap bahwa imbalan material adalah hal yang wajar dalam politik. Menurut Survei Nasional Politik dan Pemilu 2021 oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI), sekitar 60% responden menganggap bahwa memberi dan menerima uang dalam pemilu adalah praktik yang biasa (LSI, 2021). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat telah terbiasa dengan transaksi semacam itu, sehingga sulit untuk mengubah paradigm berpikir mereka.
BACA JUGA:PTPS Ujung Tombak Tegakkan Demokrasi, Bawaslu Lantik PTPS Tingkat Kecamatan
Ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah dan kondisi sosial-ekonomi juga berkontribusi pada munculnya praktik politik uang. Dengan tingkat kemiskinan yang masih tinggi, terutama di daerah-daerah tertentu, masyarakat merasa bahwa mereka perlu memanfaatkan peluang yang ada untuk mendapatkan imbalan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia masih mencapai 9,54% pada 2023 (BPS, 2023). Dalam kondisi ini, pemilih lebih cenderung memilih calon yang menawarkan imbalan, karena mereka beranggapan bahwa hal itu adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan keuntungan.
Keterbatasan akses terhadap informasi yang berkualitas juga menjadi factor penyebab. Banyak masyarakat, terutama di daerah terpencil, tidak memiliki akses yang memadai untuk mendapatkan informasi tentang calon pemimpin dan program-program mereka. Dalam survei oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), ditemukan bahwa sekitar 40% pemilih tidak mengetahui visi dan misi calon yang mereka pilih (KPU, 2022). Ketidakpahaman ini membuat mereka lebih rentan terhadap tawaran imbalan.