Pakai KHL, Berlakukan Lagi UMS, Pemerintah Harus Jalankan Putusan MK Terkait Upah Minimum
--
JAKARTA, SUMATERAEKSPRES.ID - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan pekerja terhadap UU Cipta Kerja. Ada 21 pasal dalam UU Ciptaker yang dibatalkan dan diubah melalui putusan terbaru MK. Pemerintah harus cepat menindaklanjuti itu karena deadline-nya pada 7 November 2024 harus sudah keluar edaran ataupun itu Peraturan Menteri Tenaga Kerja terkait dengan penetapan upah minimum.
Apa saja? Di antara dari putusan MK yaitu jangka waktu perjanjian kerja (kontrak), tidak lebih dari 5 tahun, termasuk perpanjangan. Lalu, komponen hidup layak (KHL) menjadi salah satu indeks yang harus dimasukkan dalam penentuan upah minimum. Kemudian, gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral (UMS) pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota.
Rapat dewan pengupahan di daerah juga harus melibatkan unsur serikat pekerja/buruh. “Edaran atau peraturan itu yang akan kami sampaikan kepada gubernur se-Indonesia," jelas kata Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli. Untuk itu, pihaknya telah melakukan diskusi dengan Dewan Pengupahan Nasional serta perwakilan dari serikat pekerja dan asosiasi pengusaha terkait putusan MK tersebut.
Yassierli menambahkan, aspirasi serikat pekerja dan asosiasi pengusaha terkait dengan UU Cipta Kerja juga sudah disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto. “Pak Presiden sudah berikan arahan. Ini yang sedang kami coba rumuskan. Kami punya batas waktu sampai 7 November,” imbuh dia.
BACA JUGA:Menanti Putusan MK dan Data BPS, Penetapan UMP Sumsel 2025 Baru Akan Diputuskan
Sebab, pada 26 November nanti, upah minimum provinsi (UMP) seluruh daerah harus sudah ditetapkan. Dan UMS harus sudah ditetapkan pada 30 November. Sebelumnya, aturan tentang pemberlakuan UMS terdapat pada UU Ketenagakerjaan yang diteken pada 2003. Namun, UU Ciptaker menghapus ketentuan tersebut.
MK sependapat dengan gugatan yang dilayangkan kaum buruh bahwa dalam praktiknya, penghapusan UMS sama saja negara tak memberi perlindungan yang memadai bagi pekerja. Sebab, pekerja di sektor-sektor tertentu memiliki karakteristik dan risiko kerja yang berbeda. Ada tuntutan pekerjaan yang lebih berat atau spesialisasi yang diperlukan sehingga memerlukan standar upah yang lebih tinggi.
Penghapusan UMS dinilai justru bisa mengancam standar perlindungan pekerja, khususnya pada sektor-sektor yang sebetulnya memerlukan perhatian khusus dari negara. Oleh karena itu, MK menegaskan, UMS mesti diberlakukan lagi. Penghapusan ketentuan upah minimum sektoral bertentangan dengan prinsip perlindungan hak-hak pekerja yang merupakan bagian dari HAM. Terutama hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
MK juga menghidupkan lagi peran dewan pengupahan yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah sebagai bahan bagi pemerintah pusat menetapkan kebijakan upah. Aturan soal dewan pengupahan juga dilengkapi MK dengan klausul bahwa dewan pengupahan harus berpartisipasi secara aktif.
BACA JUGA:Deklarasi HDCU, Herman Deru Tanggapi Putusan MK, Simak Pernyataannya
BACA JUGA:KPUD dan Bawaslu Muratara Bahas Implementasi Teknis Putusan MK
Meski begitu, MK juga menambahkan agar struktur dan skala upah di perusahaan tak hanya memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, tapi juga golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi.
Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas mengatakan, pemerintah tengah menindaklanjuti putusan MK tentang penetapan UMP 2025. "Nanti Pak Menko Perekonomian yang akan lebih menjelaskan soal itu, karena beliau mengkoordinasikan soal itu," ucap dia. Masalah UMP disebutnya persoalan yang paling mendesak saat ini, di antara 21 pasal yang dibatalkan lewat putusan MK.