Menguatnya Pragmatisme Politik
MahendraKusuma, SH, MH (Dosen Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Palembang)-FOTO: IST-
Jika ada salah satu pasangan yang punya elektabilitas tinggi ditambah punya finansial, biasanya parpol akan ramai-ramai memberikan dukungan, ketimbang mengusung kadernya sendiri yang kemungkinan besar kalah.
Jika partai politik menginginkan kadernya memiliki elektabilitas tinggi, bisa populer, diminati pemilih, dan berkualitas, maka seharusnya partai politik menyiapkan kadernya sebaik-baiknya. Kader partai politik harus diproses dalam sebuah “sekolah politik” bernama partai politik untuk berkembang dan memenuhi kualifikasi pimpinan yang dibutuhkan bangsa.
Tapi partai politik terkadang kuran berkomitmen dalam fungsinya ini, karena proses rekrutmen tidak dilakukan secara teratur, sistematis, dan konsisten. Partai politik enggan “mempersiapkan” dan “mencetak” kadernya, namun lebih suka merekrut figur yang sudah “jadi” di luar partainya.
BACA JUGA:Sumber Energi yang Terabaikan atau Bom Waktu Lingkungan?
BACA JUGA:Fungsikan Dermaga Sri Menanti
Di Negara kita belum diatur secara khusus terkait perekrutan dan kaderisasi politik ini karena semua berpulang pada kebijakan AD/ART tiap parpol. Proses rekrutmen umumnya terjadi saat menjelang pemilu, terutama terkait dengan kebutuhan parpol memenuhi nama-nama bakal calon anggota legislatif yang diajukan di pemilu.
Mahadam Labolo dan Teguh Ilham mengajukan hipotesis bahwa “kemalasan” partai untuk “bersusah payah” dalam mengembangkan sistem rekrutmen dan pola kaderisasi yang handal dikarenakan terbenturnya partai dalam hal finansial. Dapat dipahami bahwa saat ini partai politik cenderung sulit untuk mengumpulkan dana yang berasal dari iuran anggotanya.
Akibatnya fungsi partai politik telah berubah dari organisasi politik yang berperan dalam melakukan rekrutmen politik untuk kemudian mengkader para calon politisi yang handal berubah menjadi agen penyedia “tiket” bagi orang-orang berduit untuk dapat menjadi para pejabat publik dalam waktu singkat.
Munculnya para politisi instant ini di satu sisi bisa mengembangkan demokrasi, karena banyak rakyat yang ingin berpartisipasi memberi kontribusi membangun bangsanya. Namun disisi lain menjadi persoalan kalau antusiasme begitu besar itu berbanding terbalik dengan rendahnya tingkat calon kepala daerah.
Fungsi rekrutmen partai politik dalam pemilihan kepala daerah tak dilakukan dan sekadar menjadi seruan teori dan moral karena tidak terimplementasi dengan baik dan hanya bersifat pragmatis. Terbukti beberapa partai politik memberikan dukungan kepada pasangan calon kepala daerah di menit-menit terakhir masa pendaftaran. Padahal calon pemilih juga berhak mengetahui calon yang didukung partai politik sebelumnya.
Masyarakat tentunya butuh waktu untuk menilai seberapa baik pasangan-pasangan calon kepala daerah yang akan berkontestasi sebelum dipilih saat pemungutan suara. Tentu saja, ini bisa juga dikaitkan dengan fungsi partai politik yang lain, yaitu pendidikan politik untuk masyarakat, konversi dan agregasi kepentingan masyarakat. Partai politik seharusnya perlu mendengar aspirasi kepentingan masyarakat terhadap calon kepala daerah di wilayahnya.
Biaya politik yang semakin mahal menjadikan partai politik dikuasai oleh orang kaya atau tokoh yang didukung pemilik modal kuat. Para kepala daerah yang dihasilkan dari proses politik berbiaya mahal mudah tergoda melakukan perburuan rente untuk kepentingan politik. Hal ini akan mempengaruhi kualitas keputusan politik yang diambil. Akibatnya, banyak keputusan politik yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Para kepala daerah yang memperoleh jabatan melalui pilihan rakyat, tidak merasa memiliki tanggung jawab moral membela kepentingan rakyat karena mereka menang pemilu dengan membeli suara (vote buying).
Partai-partai, terlebih partai gurem seharusnya tak perlu gamang untuk mengusung kadernya sendiri dalam kontestasi pilkada, banyak pembelajaran yang bisa dijadikan cermin dalam proses membangun demokrasi kedepan. Pertama, dalam demokrasi, uang tidak selamanya menjadi penentu kemenangan, tetapi kecerdasan memafaatkan setiap peluang yang ada. Secara finansial, Barack Obama kurang didukung dana pribadi dibanding Hilary Clinton, mantan ibu Negara Amerika Serikat, begitu pula dibandingdengan John McCain yang didukung presiden berkuasa, tapi ia tetap memenangkan pemilihan presiden Amerika Serikat. Kedua, dalam demokrasi, senioritas, pengalaman, pengaruh structural tidak bisa diandalkan mempengaruhi publik, tetapi kecerdasan menawarkan ide-ide pembaharuan untuk kesejahteraan rakyat. Ketiga, fakta tidak terbantahkan kalau ternyata pemanfaatan teknologi informasi mampu member kontribusi besar dalam proses perebutan kekuasaan. Penggunaan media sosial di Indonesia sekarang yang berkembang sangat pesat harus dimanfaatkan untuk membangun bangsa dan daerahnya. Dunia Facebook dan Twitter bisa dijadikan sebagai sarana untuk menciptakan komunitas pendukung lintas suku, daerah, agama, dan bahasa. (*)