https://sumateraekspres.bacakoran.co/

Antara Egoisme dan Sikap Mendahulukan Kepentingan Orang Lain

Suparjon Ali Haq Al Tsabit,S.Pd.I.,M.Pd.I., C.MTcMT Direktur Pusat studi Keislaman & Humaniora Yayasan Izzatul Ummah Dosen Universitas Islam OKI (UNISKI) Kayuagung-foto: ist-

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (Ali Imraan: 169.) 

Dan berfirman tentang hamba-hamba-Nya yang melakukan kebaikan tidak karena tujuan mendapatkan pujian dan balasan dari orang lain, sebagai berikut:

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (Al Insaan: 8-9)

Saat Rasulullah Saw memutuskan untuk melakukan hijrah dari rumah beliau yang telah dikepung oleh kaum Musyrikin dan mereka berniat untuk membunuh beliau, tempat tidur beliau digantikan oleh anak paman beliau, Ali bin Abi Thalib r.a. Ia memilih untuk menjadi korban bagi Rasulullah Saw, dan menjadikan tubuhnya sebagai tameng hidup menghadapi pedang-pedang kalangan Musyrikin yang siap memotong tubuhnya dan menghilangkan nyawanya. Dengan begitu, ia telah rela mengorbankan dirinya bagi Rasulullah Saw pembawa hidayah bagi seluruh umat manusia.

Saat manusia mengalami derita kelaparan dan kekeringan pada masa Umar r.a., Umar hanya sempat tidur sekejap dan hanya dapat beristirahat sebentar. Seluruh perhatiannya ditujukan untuk menghilangkan bencana kelaparan itu dari rakyatnya. Usahanya itu terus membebaninya, sehingga tubuhnya berubah menjadi hitam, dan melemah. Sehingga orang yang melihat dirinya seperti itu ada yang berkata: “seandainya bencana kelaparan ini terus berlangsung beberapa bulan lagi, niscaya Umar bisa mati karena sedih dan menderita melihat penderitaan rakyatnya”.

Suatu hari datang kafilah pembawa barang dari Mesir yang membawa daging, minyak samin, makanan, dan bahan pakaian, kemudian ia membagi-bagikan semua itu sendiri kepada masyarakat, dan tidak mau sedikitpun mengambil bagian. Ia kemudian berkata kepada kepala rombongan kafilah: “aku mengundangmu untuk makan dirumahku nanti”. Si kepala kafilah langsung membayangkan makanan yang lezat-lezat. Karena ia menyangka bahwa makanan yang dikonsumsi oleh Amirul Mu`minin tentunya lebih baik dan lebih lezat dari makanan rakyat biasa. Maka dengan semangat ia datang ke rumah Umar, sambil menahan lapar, haus dan rasa capai. Di sana, Umar segera menyiapkan makanan baginya. Namun yang membuat sang tamu tercengang adalah ternyata makanan yang dikonsumsi oleh Amirul Mu`minin bukanlah makanan yang berupa daging, minyak saming, daging bakar maupun manis-manisan. Makanannya ternyata tak lebih dari potongan-potongan roti hitam yang kering, dengan berlauk sepiring minyak. Hal itu membuat sang tamu amat terkejut, maka ia segera bertanya kepada Umar: “mengapa engkau melarangku untuk makan bersama orang lain berupa makanan dari daging dan minyak samin, malah engkau menghidangkan kepadaku makanan yang sama sekali tidak layak dikonsumsi ini?”. Umar menjawab: “Aku hanya memberikan makanan kepadamu dengan makanan yang biasa aku konsumsi”. Ia kembali bertanya: “apa yang menghalangimu untuk memakanan makanan yang sama dikonsumsi oleh masyarakat, padahal engkau sendiri yang telah membagi-bagikan daging kepada masyarakat?”. Umar menjawab: “aku telah berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak memakan minyaki samin dan daging hingga kaum Muslimin seluruhnya telah kenyang dengan kedua macam makanan itu”.

Alangkah hebatnya sipat iitsaar ‘mementingkan orang lain’ yang telah diperlihatkan oleh Umar itu bukan? Dan apakah ada bandingnya sikapnya itu di dunia ini?. Sejarah telah menceritakan kepada kita sumbangsih dan pengorbanan yang telah diberikan oleh kaum wanita Paris pada saat perang tahun tujuh puluhan (abad 19). Hingga mereka dengan suka rela menyerahkan perhiasan-perhiasan mereka untuk membantu membayar denda yang dikenakan oleh Jermah atas penduduk Paris sebagai tebusan untuk membebaskan mereka dari kepungan militer. Sikap kaum wanita Paris adalah suatu contoh yang bagus tentang pendahuluan kepentingan umum dan pengorbanan. Namun, apakah tingkat pengorbanan mereka itu mampu menyamai besarnya pengorbanan kalangan wanita kaum Muslim pada masa Rasulullah Saw, saat Rasulullah Saw mendorong mereka untuk memberikan sumbangan dan shadaqah, dan secara spontan seluruh kaum wanita mencopot segala perhiasan mereka hingga tidak tersisa sedikitpun dan mereka berikan kepada Rasulullah Saw, untuk kemudian beliau pergunakan harta tersebut bagi kepentingan kaum Muslimin. (HR. Bukhari dan Muslim)

Sumbangan pada saat perang untuk menghadapi gempuran musuh adalah suatu tindakan yang amat terpuji. Namun memberikan sumbangan pada saat damai sebagai sumbangsih bagi proyek-proyek kemaslahatan umum sambil mengharapkan balasan Allah SWT adalah suatu tindakan yang lebih terpuji lagi. Tidak aneh jika jasa kaum wanita kita yang mendermakan perhiasan-perhiasan mereka pada saat damai, adalah lebih abadi dan lebih terpuji dari tindakan wanita Paris yang telah mendermakan perhiasan mereka pada saat perang.

Saudaraku, di antara wanita kita yang saleh, adalah wanita ahli ibadah yang dikenal dalam sejarah dengan nama Rabi`ah `Adawiah. Di antara untaian kalimat munajatnya kepada Allah SWT yang ia lantunkan dalam ibadahnya adalah kalimat-kalimat yang abadi ini: “Ya Allah, aku beribadah kepada-Mu bukan karena takut terhadap api neraka-Mu, juga bukan karena mengharapkan surga-Mu. Namun hal itu aku lakukan karena memang Engkau berhak untuk disembah”. 

Rabi`ah `Adawiah juga sering menyenandungkan sya`ir ini: Aku mencintai-Mu dengan dua cinta: cinta hawa nafsu dan cinta karena Engkau memang layak untuk dicintai. Lantas, mengapa kita tidak dapat mencapai ketinggian jiwa dan keagungan sikap mementingkan orang serta pengorbanan seperti yang dicapai oleh Rabi`ah `Adawiyah; yaitu kita mengerjakan kebaikan semata karena hal itu baik, dan untuk kepentingan umum manusia, dengan tidak mengharapkan pujian dan balasan dari mereka, namun hal itu kita lakukan semata karena Allah SWT?. Mengapa kita tidak melakukan kebaikan bagi saudara-saudara kita, tetangga-tetangga kita dan manusia seluruhnya, kita mengingat kebutuhan mereka sebelum kebutuhan kita, dan kepentingan mereka sebelum kepentingan kita, tanpa menunggu bayaran dan balasan?

Wahai manusia, ingatlah selalu firman Allah SWT berikut ini: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (Al Insaan: 8-9)

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan