https://sumateraekspres.bacakoran.co/

Konversi BBG Untuk Nelayan, Lipatgandakan Hasil Tangkap Ikan

HIDUPKAN MESIN : Nelayan Tanah Malang, Zulkifli menghidupkan mesin perahunya yang sudah menggunakan bahan bakar gas (BBG) elpiji 3 kg. Zulkifli biasa melaut ke perairan Sungai Musi sampai muara Upang dan Sungsang tiga kali seminggu.-Foto : Rendi/Sumateraekspres.id-

PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID – Ombak kuat sesekali menghantam perahu Zulkifli (53) yang berlabuh di pesisir Sungai Musi, Kampung Sei Rasau Tanah Malang RT 18, Keramasan, Kertapati, Kota Palembang. Sabtu pagi (27/7/2024) sekitar pukul 06.15 WIB, Zulkifli membawa jaring ikan juaro dan patin, masing-masing berukuran 2,5 inch dan 6-7 inch, beserta tabung gas elpiji 3 kg, lalu turun ke kapal.

 

Hari itu ia mau melaut ke perairan Upang, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumsel. Sejauh kurang lebih 100 mil, sekitar 3 jam pelayaran. Cuaca masih sedikit berkabut, saat menarik napas seperti nyangkut di dada. Zulkifli beringsut ke pojok mesin perahu bertenaga 9 PK itu. Mesin tersebut berbahan bakar gas (BBG) elpiji 3 kilogram bantuan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2019 silam. Zulkifli bersiap-siap, menghidupkan mesin menebarkan jala.

 

Tiga puluh tahun sudah ia menjalani profesi nelayan tangkap ini. Jika sedang beruntung, hasilnya luar biasa bikin dapur tetap ngebul. “Sejak 5 tahun ini saya lebih sering ke perairan Upang, Makarti, Muara Telang, sampai Sungsang. Karena di sana lebih banyak ikannya dibanding perairan Sungai Musi dalam kota,” kata Ketua Kelompok Nelayan Mawar ini. Saking melimpahnya, sekali menjaring 2-3 kilogram ikan juaro tertangkap.

 

Total seharian Zulkifli bisa mendapatkan ikan juaro 20-50 kg, ikan seluang rata-rata 3 kg, dan sedikit patin sungai. Hasil tangkapan itu ia jual ke kapal pengepul ikan yang ada di sepanjang sungai, harganya Rp20 ribu untuk ikan juaro, seluang Rp40 ribu, dan patin Rp70 ribu per kg. Demi hasil memuaskan ini, Zulkifli rela pergi sendiri, “menantang” medan, dan berlayar paling jauh dari nelayan lain.

 

Tapi sebelum menggunakan mesin kapal BBG, ia mengaku jarang sekali melaut sejauh itu. “Dulu (sebelum tahun 2019) kapal saya masih mesin berbahan bakar minyak (BBM), biayanya mahal. Jadi saya memilih menjala di perairan seputaran Palembang walaupun hanya memperoleh beberapa kilogram ikan,” bebernya. Hitung saja, kala itu bensin (premium) di SPBU Rp6.550 per liter dan di warung eceran Rp8 ribu per liter.

 

“Mau berlayar ke muara Upang itu paling tidak habis 20 liter bensin. Saya biasa beli bensin eceran di kios kampung atau terapung, berarti sekali melaut modal bensin Rp160 ribu pulang pergi, belum ransum (bekal makanan), dan sebagainya. Total sekali jalan habislah Rp250-300 ribu. Tak ada modal, tak bisa berlayar,” ungkapnya.

 

Dengan harga sekarang, pertalite Rp10 ribu, di eceran Rp12 ribu per liter. Butuh uang minimal Rp240 ribu untuk BBM saja. “Sudah pasti saya tak sanggup. Penghasilan hanya untuk kebutuhan keluarga sehari-hari,” tutur Zulkifli. Enak jika tangkapan ikan sedang banyak, ia bisa kantongi pendapatan Rp800 ribu per hari. Pas lagi apes hanya memperoleh Rp300 ribuan. “Tekor bensin, cuma balik modal, dapat capeknya saja. Padahal melaut ke hilir atau muara itu seharian, berangkat pagi-pagi jam 6, pulangnya jam 4-5 sore,” jelasnya.

 

Namun sejak menggunakan BBG, Zulkifli ke muara Upang 3 kali seminggu lantaran elpiji 3 kg berbiaya murah. “Di pangkalan gas harga elpiji bersubsidi cuma Rp15.650 per tabung (sesuai HET),” katanya. Sekali melaut, modal BBG cuma 2 tabung elpiji berarti biaya bahan bakar kapal ke Upang tak lebih dari Rp40 ribu, hemat sampai 85 persen dari BBM. “Satu tabung dapat menempuh sekitar 3 jam perjalanan sungai,” paparnya.

 

Manfaat sama dirasakan Syarifudin (58), nelayan Tanah Malang yang juga tetangga Zulkifli. “Karena sudah berusia, saya lebih sering berlayar di perairan terdekat, seputaran Keramasan, menjaring ikan seluang. Sekali jalan dapatlah sekitar 3 kg-an, saya jual ke pengepul Rp120 ribu,” cetusnya.


BERLAYAR : Nelayan asal Keramasan, Syarifudin melaut ke Sungai Musi setiap hari. Sehari ia biasa mendapatkan 3 kg ikan seluang. -Foto : Rendi/Sumateraekspres.id-

 

Baginya, satu tabung elpiji 3 kg bisa tahan seminggu melaut. Berbeda ketika menggunakan mesin BBM, butuh 1 liter bensin sekali jalan. “Mesin BBG betul-betul hemat, membantu kami. Tak perlu lagi susah-susah beli bensin setiap hari, tinggal bawa gas dari rumah langsung mengarungi Sungai Musi,” tegas anggota Kelompok Nelayan Mawar ini.

 

Namun, jika tidak dibantu mesin konversi BBM ke BBG, tidak bisa pula nelayan menggunakan elpiji 3 kg. Tidak ada yang jual mesin BBG di pasaran, yang ada mesin perahu BBM dan itu pun mahal Rp6 juta-an. Mesin perahu BBG didesain khusus dengan knop sambungan selang gas.

 

Menurut Syarifudin, Kelompok Nelayan Mawar dari Sei Rasau Tanah Malang menerima bantuan paket konverter kit (konkit), berupa mesin penggerak kapal, 2 tabung elpiji 3 kg, satu set baling-baling, selang gas, regulator, pencampur (injector), serta aksesoris lainnya. Konkit ini diberikan cuma-cuma oleh Kementerian ESDM dalam Program Konversi BBM ke BBG untuk nelayan.

 

“Waktu pembagian tahun 2019 lalu, ada sekitar 200-an nelayan asal Palembang menerima cuma-cuma. Khusus kelompok kami dengan Pak Ketua (Zulkifli) yang mendapat mesin perahu BBG ada 10 orang,” ungkapnya lagi. Kini mungkin, lanjut Syarifudin, ratusan nelayan di Keramasan telah menggunakan gas elpiji untuk menangkap ikan di sungai.

 

Penyuluh Perikanan Balai Riset Perikanan Perairan Umum dan Penyuluhan Perikanan (BRPPUPP) Kota Palembang, Vini Sushanti AMd menjelaskan ada 1.029 nelayan di Palembang yang telah menerima bantuan paket konkit dari tahun 2018, 2019, 2022, dan 2023. Mereka menyebar di Kecamatan Kertapati, Gandus, Seberang Ulu II, Plaju, Kalidoni, Jakabaring, dan Ilir Timur 2.

 

“Sudah banyak sekali nelayan menggunakan mesin BBG berlayar ke sungai, danau, atau laut. Hampir semuanya, dari jumlah nelayan di Palembang sekitar 1.200-an orang,” terang Vini. Ia sendiri sebagai fasilitator (pengusul, red) bagi nelayan mendapatkan paket konkit dari Program Konversi BBM ke BBG ini.

 

Tujuannya supaya nelayan lebih sejahtera, karena penggunaan gas sebagai bahan bakar jauh lebih hemat dan ramah lingkungan. Selain itu melipatgandakan produksi ikan nelayan lantaran mereka dapat berlayar jarak jauh, lebih lama, dan tanpa batas dengan hanya satu tabung gas melon. Pendapatannya bertambah, nelayan-nelayan menjadi sejahtera.

 

“Mesin kapal dari Pemerintah ini ada 3 varian, yaitu 13 PK, 9 PK, dan 6,5 PK sesuai besar kecil ukuran perahu. Digulirkan setiap tahun ke nelayan sasaran, plus satu set konverter kit serta pemasangannya, 2 tabung elpiji 3 kg beserta isinya, dan 1 set As panjang dan baling-baling,” rincinya. Hingga kini bantuan senilai Rp8-9 juta-an itu terus didistribusikan, sampai seluruh nelayan Sumsel menggunakan BBG.

 

Di Indonesia, program konversi untuk nelayan dan petani ini dimulai Kementerian ESDM dari tahun 2016. Hingga 2022 telah dibagikan 115.859 paket konkit nelayan sasaran dan 44.448 paket konkit petani sasaran. Sementara 2023 sebagai tahun ke-8 pendistribusian konkit sebanyak 52 ribu paket konversi, meliputi 13.865 paket untuk nelayan dan 39 ribu paket untuk petani di Indonesia.

 

Dalam penyalurannya, Kementerian ESDM menugaskan BUMN energi PT Pertamina (Persero). Direktur Pemasaran Regional PT Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legawa Putra mengatakan pihaknya mendapatkan amanah penugasan dan kepercayaan dari Pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, untuk menjalankan tugas pendistribusian paket perdana Program Konversi BBM ke BBG kepada nelayan dan petani sasaran. “Kami mendukung, berkolaborasi, dan berusaha memberi layanan terbaik. Mudah-mudahan program ini bermanfaat bagi kehidupan dan perekonomian masyarakat,” ujarnya.

 

Area Manager Communication, Relation & CSR Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagsel, Tjahyo Nikho Indrawan menambahkan program Konversi BBG salah satu kebijakan energi nasional dalam rangka mendukung ketahanan energi serta penyediaan energi alternatif yang lebih ramah lingkungan. “Program ini merupakan amanat Peraturan Presiden Nomor 38 tahun 2019 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga LPG 3 Kg untuk kapal penangkap ikan bagi nelayan sasaran dan mesin pompa air bagi petani sasaran,” ungkapnya.

 

Kriteria nelayan yang berhak menerima bantuan telah ditetapkan Pemerintah, yaitu pemilik kapal kurang dari 5 gross ton (GT), berbahan bakar kapal bensin, serta memiliki daya mesin 13 HP. “Semoga adanya konversi ini, nelayan sasaran lebih sukses, membantu ekonomi masyarakat menuju ekonomi mandiri, serta membantu Pemerintah mewujudkan lingkungan yang bersih dan lebih sehat,” terang Tjahyo.

 

Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Migas Kementerian ESDM RI, Laode Sulaeman mengatakan Program Konversi BBM ke BBG tak hanya menjadi tugas Pemerintah, tapi butuh partisipasi dan kerjasama para stakeholders. Mulai dari alokasi/ketersediaan elpiji, rantai pasok pendistribusian, hingga jaminan kesinambungan bagi pengguna, termasuk keterlibatan Pemda dalam menjamin kelancaran proses pendistribusian paket konkit.

 

Pemerintah akan terus mendukung seluruh aspek, mulai dari regulasi menjamin alokasi gas bumi untuk bahan baku kilang elpiji, mendorong badan usaha senantiasa menyediakan dan mendistribusikan elpiji 3 kg kepada masyarakat, menetapkan harga yang optimum, menyiapkan porsi subsidi yang tepat sasaran untuk mendukung program konversi. “Nelayan dan petani telah merasakan manfaatnya langsung, biaya operasional berkurang dan perawatan mesinnya lebih mudah,” kata Laode dalam keterangannya.

 

Diketahui Program Konversi BBM ke BBG merupakan kebijakan diversifikasi energi untuk menjamin ketahanan energi, mengurangi konsumsi BBM bersubsidi, meningkatkan penggunaan energi bersih, hingga mengurangi polusi udara dan pencemaran lingkungan dari emisi karbon dioksida (CO2).

 

Laporan Global Carbon Project menyebutkan pada tahun 2023, CO2 global dari bahan bakar fosil telah mencetak rekor sebesar 36,8 miliar ton. Emisi tersebut berasal dari pembakaran dan penggunaan batubara, minyak, dan gas bumi, serta produksi semen. Di Indonesia, emisi fosil CO2 naik sebesar 18 persen pada tahun 2022, tertinggi selama 60 tahun terakhir.

 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang di-update per 28 Juli 2022, berdasarkan laporan inventarisasi GRK (gas rumah kaca) dan MPV 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, pada 2019 emisi GRK mencapai 1,86 miliar ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Tertinggi berasal dari sektor energi sebesar 638.808 juta ton CO2e.

 

Dengan emisi yang ada, proyeksi Global Carbon Budget, suhu global akan meningkat menjadi 1,5 derajat celcius dalam tujuh tahun ke depan dan 15 tahun lagi mencapai 1,7 derajat celcius. Kondisi ini sangat genting, mengingat posisi suhu bumi kini pun sudah di level 0,74 ± 0,8 derajat celcius, naik dari tahun 1980 yang masih di bawah 0,25 derajat celcius.

 

Tanpa adanya mitigasi, kenaikan suhu bumi atau pemanasan global menyebabkan perubahan iklim, cuaca ekstrim, badai hebat memicu bencana banjir-longsor, tanaman sulit bertahan hidup, meluasnya kekeringan dan penyakit. Karena itu Indonesia ikut berupaya mengurangi emisi GRK guna mengendalikan perubahan iklim dan mencapai target net zero emission (NZE) 2060. Konversi BBG salah satu program penting Kementerian ESDM mencegah masif-nya polusi udara dari penggunaan BBM oleh nelayan dan petani. (fad)

Tag
Share