Setop Stigma, Mulailah Peduli Kesehatan Jiwa
Iwan Andhyantoro, SKM, M.Kes, Humas RS Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan--
Ada tiga objek yang mendapatkan stigmasisasi negatif terkait masalah kesehatan jiwa, yaitu Stigma pada penyakit jiwa, dimana penyakit jiwa ini seringkali disebut dengan istilah gila dengan merujuk pada orang- orang yang berperilaku aneh, linglung, kacau, tertawa sendiri, bicara sendiri, nampak kumuh, pakaian berantakan, bahkan sampai telanjang, tidak pernah mandi, menggelandang, makan sembarangan termasuk sampah, dan digeneralisir oleh sebagian besar masyarakat seolah-olah hanya seperti itulah yang dimaksud dengan penyakit jiwa.
Padahal sebenarnya gambaran itu baru mewakili satu jenis diagnosa saja, yaitu Psikosis Skizofrenia, dan itupun jika tidak diobati, karena banyak juga para penderitanya yang mendapatakan pengobatan secara baik bisa berperilaku baik, tetap aktif dan produktif tak ubahnya orang normal lainnya.
Memang ada beberapa kasus terjadi tindak kekerasan oleh penderita skizofrenia akibat gejala halusinasi dan delusi yang tak terkendali, kemungkinan itu terjadi ketika si penderita tidak diobati secara baik, atau belum pernah mendapatkan pengobatan sama sekali.
Masyarakat masih menganggap penyakit jiwa tak bisa diobati, tak bisa sembuh, akibat kurang iman, pernyakit yang menjadi aib memalukan bagi keluarga, akibat guna-guna, karena kesurupan makhluk halus, keberatan ilmu, dll.
"Padahal faktanya penyakit jiwa ini bisa diobati, bisa disembuhkan, dimana gangguan pikiran, perasaan, perilaku abnormalnya bisa dikendalikan, pada beberapa kasus bisa dipulihkan, dan produktifitas si penderita tetap bisa dipertahankan, hubungan suami istri dalam keluarga bisa berkelanjutan, kuliah masih bisa diselesaikan, pekerjaan masih bisa berlanjut, dan kapasitas serta fungsi sosialnya bisa diperbaiki," papar Iwan.
Stigma kepada penderita gangguan jiwa, dimana para penderitanya dianggap sebagai orang yang sama sekali hilang ingatannya, hilang akalnya, kehilangan kemampuan dalam berpikir, menjadi biang keonaran, kekacauan, menjadi ancaman bagi lingkungan, tidak berguna, tidak bisa berkarya, dll.
Padahal kenyataannya banyak penderita/penyandang masalah kejiwaan yang mempunyai potensi kecerdasan, kreatif, punya potensi yang bisa diberdayakan, yang bermanfaat bagi dirinya sendiri atau masyarakat, bahkan banyak juga yang memiliki prestasi istimewa melebihi orang normal.
Beberapa penyandang gangguan jiwa bisa sampai jenjang profesor, misalnya Prof John Fobes Nash (skizofrenia), seorang pakar matematika, peraih hadiah nobel bidang ekonomi, Prof Ellyn R Saks (skizofrenia), seorang Pakar hukum, psikologi, dan ilmu perilaku, menjadi seniman seni rupa kaliber internasional, misalnya Yoyoi Kusama (skizofrenia), Hana Madness (bipolar), kita juga mengenal nama-nama terkenal seperti Vidi Aldiano (Anxiety Disorder), penyanyi Indonesia bersuara merdu, Ariel Tatum (bipolar) aktris cantik Indonesia, Selena Gomez (Depresi), seorang aktris dan penyanyi yang namanya mendunia, Winona Ryder (depresi, kleptomania), seorang aktris cantik terkenal, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Terkait ini seorang Dokter pakar kesehatan jiwa, dan sekaligus pengurus Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), dr Lahargo Kembaren SpKJ, mengatakan, “Orang dengan skizofrenia justru lebih banyak jadi korban kekerasan dibandingkan dengan jadi pelaku kekerasan, mulai dari dipasung, ditelantarkan, diperdaya, difitnah, dituduh, korban pelecehan, diskriminasi hingga berbagai tindak tak manusiawi lainnya.
Stigma pada faskes pelayanan jiwa , RSJ. Sampai saat ini faskes yang berfokus pada pelayanan kesehatan jiwa, terutama RSJ (rumah sakit jiwa) masih dianggap sebagai tempat yang seram dan menakutkan, tempat berkumpulnya orang-orang gila, adanya tindakan tak manusiawi kepada pasien gangguan jiwa di dalamnya, dll.
"Faktanya RSJ tidak ubahnya rumah sakit khusus lainnya, dengan pelayanan yang semakin baik, lebih manusiawi, dan terstandard. Semua rumah sakit di Indonesia setiap tahun harus diperiksa oleh lembaga akreditasi independen, diperiksa juga oleh BPRS (Badan Pengawas Rumah Sakit), dan lainnya yang menjadikan semua aspek baik sarana, prasarana, serta pelayanan terpantau, dan terstandar baik dalam kelayakan maupun kompetensinya," jelasnya.
Dan semua rumah sakit harus menyediakan saluran pengaduan dan mampu menampung jika para pengguna jasa merasakan ketidakpuasan dan keluhan atas pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit.
Sebagaiman penyakit fisik lainnya, angka kejadian kasus sakit jiwa yang tidak teratasi secara tepat tentu saja sangat berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia sebuah bangsa karena hilang/menurunnya produktivitas warganya dalam berpartisipasi di dalam pembangunan.
Ia pun menyarankan kepada semua lapisan masyarakat, bagi nakes dan faskes pelayanan kejiwaan, selain meningkatkan kompetensi dan profesionalitas dalam pelayanan kesehatan, hendaknya juga semakin aktif menggalakkan edukasi, dan advokasi kepada masyarakat dan berbagai pihak.
Hendaknya setiap faskes penyelenggara pelayanan kesehatan jiwa, dan RSJ senantiasa berupaya meningkatkan kualitas sarana, prasarana, dan pelayanannya, sehingga rasa nyaman, aman, dan kepuasan bisa dirasakan bagi masyarakat pengguna jasa.