Korban Dugaan Kasus Asusila Oknum Dokter RS BMJ Resmi Tunjuk Kuasa Hukum Baru, Ini Alasannya

Direktur LBH Qisth, Kurnia Saleh, SH selaku kuasa hukum yang baru dari T (22), korban tindak asusila oleh oknum dokter RS Bunda Medika Jakabaring (BMJ) berinisial dr My, Sp.Orth. -Foto: Ist-

Karena itu sebenarnya diakibatkan kesalahpahaman dan klien kami sepakat untuk mencabut Laporan Polisi yang telah dibuat klien kami selaku Pelapor Korban di Polda Sumsel, adapun permohonan pencabutan Laporan Polisi dan Surat Perdamain tersebut sudah kami serahkan ke pihak kepolisian.

Ketiga, adanya suara sumbang dari pihak yang mempersoalkan timing perdamaian yang dianggap bermasalah.

Seolah-olah perdamaian terjadi setelah ditetapkan tersangka itu secara hukum tidak bisa dilakukan. Padahal sebelum atau sesudah penetapan tersangka dilakukan itu sah-sah saja secara hukum. Terhadap pihak yang mempersoalkan perdamaian ini kami menilai itu sangat lucu dan kami nilai ada motivasi lain dari pihak tersebut.

Keempat, terhadap pihak yang mengatakan perdamaian tidak dapat menghentikan proses hukum pidana yang sedang berjalan, maka saya sampaikan itu tidak berdasar.

Pernyataan itu terbantah secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis, perdamaian dibenarkan secara hukum. Landasan asasnya pidana itu "Ultimum Remedium" atau pidana sebagai upaya hukum terakhir. 

Perdamaian itu hak korban sebagai pelapor, Normanya pada kasus ini merujuk pada Pasal 65 ayat 1 UU Tindak Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) terhadap hak korban yang diatur dalam peraturan perundang-undangan itu dinyatakan tetap berlaku.

Selanjutnya, Perkapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana

Berdasarkan Keadilan Restorative Justice (RJ) menjadi salah satu peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksudkan dalam UU TPKS tersebut.

Adapun berkaitan dengan Perdamaian sebagai dasar penghentian perkara, menurut Perkapolri 8 tahun 2021 pada Pasal 5 dan Pasal 6 telah dijelaskan, bahwa selain tindak pidana terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana keamanan negara dan tindak pidana terhadap nyawa orang, maka tindak pidana lain dapat dilakukan RJ. Ketentuan ini merupakan syarat materil untuk dapat dilakukannya RJ.

Adapun syarat formilnya adalah adanya perdamaian itu sendiri, yang outputnya nanti perkara dapat dihentikan dengan dasar RJ.

Secara Faktual, para pihak sudah berdamai secara patut, dan ruang untuk dilakukan perdamaian dibenarkan menurut hukum. Sehingga apabila terdapat pihak yang mengatakan perdamain tidak dapat menghentikan perkara, pernyataan tersebut missleading.

Jika dalil pihak tersebut adalah hukum, hukumpun telah memberikan ruang menjadikan perdamaian sebagai dasar penghentian perkara dalam bingkai RJ.

Menjadi lucu juga jika ada pengacara yang lebih memilih berseteru, padahal instrumen untuk berdamai itu telah dibenarkan secara hukum. Jika semangat semua pengacara dalam membela kliennya tujuannya hanya untuk berseteru, hal ini dinilai tidak sejalan dengan prinsip hukum pidana itu sendiri sebagai upaya hukum terakhir bukan upaya hukum pertama dan satu-satunya.

Artinya, pihak yang mendalikan perdamaian tidak menjadi alasan proses hukum dapat dihentikan telah terbantah dengan konstruksi berpikir di atas.

BACA JUGA:Dibalik Perdamaian Oknum Dokter RS BMJ dengan Istri Pasien: Benarkah Ada 'Tepung Tawar' Rp600 Juta?

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan