https://sumateraekspres.bacakoran.co/

Depan Belakang

Nafsiah Sabri Shahdan difoto oleh Dahlan Iskan Mochamad di penerbangan Etihad Jakarta-Abu Dhabi.-foto: harian disway-

''Pilih yang mana?'' Saya diminta masuk ke dalam counter check in: agar bisa melihat layar komputer di meja petugas. Ada denah susunan kursi di layar itu. Banyak kursi sudah terisi.

Saya memang telat check in. Tidak ada lagi dua kursi kosong yang  bersebelahan. Saya harus duduk terpisah dari istri. Sedih. Padahal maunya meniru Putu Leong: lengket terus seperti prangko.

Gara-gara telat check in. Yang disebut ''telat'' di zaman sekarang itu sebenarnya masih dua jam dari waktu boarding. Dulu, check in dua jam sebelum boarding itu disebut early check in.

Sekarang dikategorikan telat. Yang disebut ''tidak telat'' adalah check in online: bisa 12 jam sebelumnya. Bisa pilih tempat duduk prangko.

BACA JUGA:Risang Bima

BACA JUGA:Kepentingan Umum

Mengapa saya tidak bisa check in online? Itu gara-gara nama saya tidak sama. Antara yang di visa dan di paspor. Itu tidak bisa diterima di sistem komputer check in online.

Saya tegur teman saya yang mengurus check in online: kenapa tidak dijelaskan ke komputer itu. Bahkan kenapa tidak didebat:  beda nama itu bukan salah saya.

''He he komputer tidak bisa didebat, Pak Boss,'' jawabnya lantas senyum-senyum. ''Jangan panggil saya Pak Boss lagi. Saya sudah bukan bos,'' tegur saya.

Pun nama istri saya. Ada tambahan kata ketiga. Di visa nama saya jadi Dahlan Iskan Mochamad. Istri saya jadi Nafsiah Sabri Shahdan.

BACA JUGA:Food Estate

BACA JUGA:Beras Bansos

Saya sempat sewot dengan tambahan itu. Pura-pura. Kenapa tidak minta izin saya dulu. Tiba-tiba saja berubah: sejak umrah tahun kapan itu.

Kata mereka: nama harus tiga kata. Oke. Tapi kalau pun begitu saya akan pilih Dahlan Iskan bin Iskan.

Pun istri saya. Kenapa nama ketiganya tidak pakai kata Dahlan: Nafsiah Sabri Dahlan. Dia kan istri saya. Lalu saya bentak istri saya, dalam hati: hayo, siapa ini Shahdan. Anda pernah kawin sebelum dengan saya ya?

Istri saya ketakutan: juga dalam hati. Dia sendiri merasa aneh. Biasanya kan saya yang ketakutan. Ternyata Shahdan itu nama kakeknya. Yang pekerjaannya tukang angkut barang di gerobak dorong.

BACA JUGA: Madura Kaili

BACA JUGA:Hilirisasi Rudi

Di Samarinda. Masa kecil istri memang ikut kakek. Istri saya anak pertama dari 12 bersaudara. Ayahnya tentara. Pergi terus. Ke medan tugas. Ibunya urus adik-adiknya.

Visa Arab Saudi tidak menempel di paspor. Visa itu dikirim lewat email. Maka email itu pun saya minta di-print. Siapa tahu ada masalah di bandara nanti.

Saya pun ke bandara lebih awal. Siap-siap kalau ada masalah. Juga berharap masih ada kursi prangko. Begitu tiba di counter saya sodorkan dua paspor. Juga dua lembar visa.

Tidak ada pertanyaan apa pun. Petugasnya lebih ''mengerti'' soal beda nama itu. Orang lebih punya perasaan dibanding online. Komputer bekerja berdasar data. Manusia bisa berdasar pengalaman.

BACA JUGA:Solusi Sapi

BACA JUGA:Kaca Spion

Satu-satunya persoalan di check in tinggal itu tadi: kursi prangko. Untuk jurusan Jakarta ke Abu Dhabi saya dapatkan kursi itu. Tapi Abu Dhabi ke Jeddah harus pisah.

Saya pura-pura marah ke petugas check in. Sekadar agar terlihat oleh istri bahwa saya serius berusaha. Lebih baik marah ke petugas daripada dimarahi istri.

Memang istri saya tidak pernah ngata-ngatai saya ''goblik'' atau ''comberan'' tapi dari ekspresi kecilnya saja saya sudah bisa menebak pedalaman hatinya.

Dari layar komputer petugas itu saya baru tahu: kini ada kabin pesawat yang susunan tempat duduknya belum pernah saya lihat.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan