Depan Belakang
Nafsiah Sabri Shahdan difoto oleh Dahlan Iskan Mochamad di penerbangan Etihad Jakarta-Abu Dhabi.-foto: harian disway-
BACA JUGA:Bukan Bintang
BACA JUGA:Quick Count
Separo kursinya menghadap ke belakang. Selang seling. Bukan seperti di beberapa kereta komuter: separo menghadap ke depan, separonya lagi ke belakang. Ini beda.
Pesawatnya Boeing 787 Dreamliner. Baris pertamanya: 1-2-1. Dua kursi yang di tengah itu menghadap ke depan. Di situlah saya dan istri. Untuk Jakarta-Abu Dhabi.
Satu kursi di kiri dan satu kursi di kanan menghadapnya ke belakang. Baris keduanya terbalik: susunannya tetap 1-2-1, tapi posisi hadapnya kebalikannya. Lalu baris ketiga seperti baris pertama. Baris keempat seperti yang kedua. Begitu sampai baris keenam.
Efisiensi. Perdebatan di antara ahli desain rupanya tidak pernah berhenti: kursi harus diatur bagaimana. Agar dengan pesawat yang sama bisa menampung kursi lebih banyak.
BACA JUGA: Saling Sepak
BACA JUGA:Tanpa Megawati
Dengan cara cerdas. Bukan sekadar menyempitkan jarak tempat duduk seperti di pesawat merah di Indonesia.
Sekitar 20 tahun lalu saya juga mengalami hal baru: jurusan Hong Kong. Cathay Pacific. CX. Posisi kursinya dibuat mencong. Tidak menghadap ke depan.
Tapi juga tidak menghadap ke samping atau ke belakang. Kursi itu menghadap ke sudut kira-kira 40 derajat. Kursinya tetap bisa dibuat flat tapi terasa lebih sempit. Saya masih bisa menerima. Ukuran badan saya masih bisa fleksibel.
Beberapa kali saya terbang dengan susunan kursi seperti itu. Tapi kreasi CX tersebut kelihatannya tidak membawa sukses. Dihentikan di situ.
BACA JUGA:Nomor Dua
BACA JUGA:Pertama Nyoblos
Tidak ada penerbangan lain yang meniru. CX sendiri terlihat tidak mengembangkannya ke pesawatnya yang lain. Naskah ini saya tulis di pesawat jurusan Jakarta ke Abu Dhabi. Jam 04.00 waktu pesawat.
Istri saya lagi terlelap di sebelah. Lengket dengan selimut tebalnya. Saya naikkan penyekat otomatis yang memisahkan tempat tidurnya dengan kursi saya.
Kalau pun mendadak terbangun dia tidak akan bisa marah melihat saya lagi menulis tentang dirinya. Tiba-tiba dia ketok-ketok dinding tipis penyekat itu.
''Kok ditutup?'' katanya. Saya pun mengakhiri tulisan ini. Saya pun menurunkan pemisah tipis itu. Tinggal pijit tombol. Lebih mudah pijit tombol sekali daripada mengetuk tiga kali.
BACA JUGA:Ujung Lorong
BACA JUGA:Lorong Gelap
Soal tambahan nama tadi sebenarnya harus saya syukuri. Waktu kecil nama saya memang pakai Mochamad. Moch Dahlan. Dimulai dengan huruf M. Terlalu jauh di belakang.
Kalau kata pertama D, jadinya di urutan keempat. Lalu, agar puitis, saya tambahkan nama bapak saya. Jadilah Dahlan Iskan.
Enam bulan lalu saya mendapat tamu: ahli hongsui terkait dengan logo dan nama. Ia mengatakan nama depan saya itu yang membuat saya gagal jadi calon presiden. Posisi huruf ''h'' yang di tengah itu penyebabnya.
Sang tamu menyarankan perbaikan nama. Ada dua cara: Dahlan diubah menjadi Dhalan. Atau: ditambah kata Mochamad di depannya. (DAHLAN ISKAN)