Food Estate

Hamparan sawah, sentra food estate di Sumatera Selatan.-foto: ist-

BACA JUGA:Nomor Dua

Baiknya memang diuji coba dulu di Jawa. Tiap satu kabupaten satu SKK. Kalau hasilnya baik langsung dikembangkan.

Caranya: dimulai dari pembentukan kelompok tani berdasar hamparan lahan. Satu kelompok 300 hektare. Di satu hamparan. Lahan itu mungkin milik 600 atau 700 petani.

Petani tersebut menyerahkan lahan mereka ke pengurus kelompok. Untuk digarap oleh pengurus kelompok. Daripada dikerjakan sendiri-sendiri secara tidak efisien. Petani pemilik tanah boleh bekerja di situ: dibayar oleh kelompok.

Maka sawah 300 hektare tersebut diolah secara modern: mekanisasi pertanian. Jadwal garap, jadwal pembibitan, jadwal tanam, jarak tanam, pemupukan, perawatan;  semua dilakukan secara ilmiah. Disiplin tinggi.

BACA JUGA:Pertama Nyoblos

BACA JUGA:Ujung Lorong

Apakah petani mau menyerahkan tanah mereka? Mau. Berikanlah jaminan: hasil minimalnya 6 ton/hektare. Kalau perlu separonya dibayar di depan.

Kurang dari itu menjadi tanggung jawab kelompok. Kalau hasilnya bisa 10 ton/hektare, selisihnya dibagi dua dengan petani.

Presiden bisa melombakan proyek ini. Bupati terbaik dapat Piala Presiden. Pun kelompok taninya: diundang ke istana. Dipahlawankan.

BACA JUGA:Little Dragon

BACA JUGA:Lorong Gelap

Inilah food estate gotong royong. Hasilnya akan jauh lebih hebat dari food estate biasa. Juga lebih baik dari usaha intensifikasi yang mana pun.

Inilah food estate sekaligus intensifikasi. Two in one. Tapi program seperti ini ‘'hanya’' penting. Tidak '’menarik’' bagi siapa pun, termasuk Anda. Terutama karena Anda tidak akan dapat ceperan sekecil apa pun dari sana.(Dahlan Iskan)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan