Food Estate
Hamparan sawah, sentra food estate di Sumatera Selatan.-foto: ist-
Intensifikasi atau food estate? Tergantung tujuannya. Untuk jangka pendek: intensifikasi. Kalau jangka panjang: food estate.
Untuk jangka SANGAT pendek –mengatasi kenaikan harga beras yang tertinggi saat ini: impor. Atau bukan semua itu.
Yang diperlukan mungkin lebih serius dari itu: mengubah tata cara budidaya padi kita. Dari perseorangan ke pertanian kelompok. Pertanian padi kolektif. Dikelola secara korporasi.
Itu tidak ada dalam debat program capres yang lalu. Tapi persoalan beras kita akan terus semakin rawan. Mulut kian banyak. Tenaga kerja kian berkurang.
BACA JUGA:Beras Bansos
BACA JUGA: Madura Kaili
Sesekali jadilah petani padi: begitu sulit mendapat tenaga kerja di sawah. Tenaga pengolah tanah. Pun sampai tenaga panen.
Memang sudah banyak sapi yang dijual: dibelikan traktor. Tapi si pemilik traktor jadwalnya juga penuh. Akibatnya: sulit mengolah tanah tepat waktu. Tergantung jadwal traktor.
Tenaga tanam? Lebih sulit lagi. Mesin tanam padi? Perkembangannya sangat tidak menggembirakan.
Waktu 10 tahun seperti lewat begitu saja. Di teknologi lain dalam waktu 10 tahun perkembangannya sudah sangat maju. Di mesin tanam seperti jalan di tempat. Bahkan mundur.
BACA JUGA:Hilirisasi Rudi
BACA JUGA:Solusi Sapi
Pabrik mesin tanam yang di Mlilir, dekat Ponorogo, itu misalnya. Bukan saja tidak berkembang. Justru tutup.
Dua kali saya pernah ke sana. Zaman ITU. Saya dorong ia untuk terus berkembang --lewat order dan order. Lima tahun kemudian saya ke sana lagi. Sebagai orang biasa. Saya hanya bisa mengelus dada.
Mesin panen pun tidak berkembang semestinya.
Dari kacamata petani, harga beras Rp 18.500 sekarang adalah harga bagus. Belum sangat bagus. Baru bisa menutupi biaya-biaya yang kian mahal. Termasuk pupuk dan terutama tenaga kerja.
BACA JUGA:Kaca Spion
BACA JUGA:Bukan Bintang
Bagi petani yang minggu ini bisa mulai panen, tentu sempat menikmati harga bagus tersebut. Misalnya di beberapa tempat di Sragen.
Sudah ada pedagang yang mau membeli GKP Rp 8.000/kg. Anda sudah tahu GKP: Gabah Kering Panen. Yakni gabah dari padi yang sudah tua. Sudah waktunya dipanen. Belum dijemur.
Dengan harga beli GKP setinggi itu, maka tidak mungkin harga beras bisa di bawah Rp 18.000/kg. Anda kan sudah hafal rumusnya: satu kuintal GKP akan menjadi 50 kg beras.
Saya hubungi tokoh petani di Sragen kemarin sore. Saya kaget: seminggu lagi sudah ada yang panen di sana. Alhamdulillah. Berarti akhir bulan depan sudah panen raya.
BACA JUGA:Quick Count
BACA JUGA: Saling Sepak
Tidak sampai dua bulan lagi seperti yang saya perkirakan di Disway kemarin. Maka harga tinggi saat ini adalah persoalan jangka sangat pendek. Harga beras segera turun --satu bulan lagi.
Pedagang yang telanjur membeli GKP Rp 8.000 akan tetap jual beras sekitar Rp 18.000. Sebulan ke depan. Kejar laba jangka pendek.
Setelah itu harga beras turun. Persoalan mendasar pertanian beras kita pun akan dilupakan lagi.
Saya tidak tahu seberapa tertarik presiden baru kita --atau wakilnya-- memulai cara baru sistem pertanian kita: sistem kelompok korporasi.
BACA JUGA:Tanpa Megawati