5 Kantor BPN Masih Zona Kuning, Pelayanan Kurang Baik Berpotensi Pungli dan Konflik

--

Padahal menurut Ombudsman, esensi layanan publik itu bukan estetika saja. Tapi bagaimana kantor tersebut memberitahukan kepada publik, bahwa inilah layanan pihaknya. “Nah ini ada perubahan mindset di BPN Palembang. Nanti terlalu ramai, tidak estetik,” tukasnya.

Hendrico menegaskan, percuma kalau kantor itu bagus tapi informasi layanan publiknya tidak ada. “Coba bandingkan dengan di bandara, lengkap itu informasinya. Masuknya dari mana, petunjuknya di mana, caranya bagaimana,” tuturnya.

Tahapan ketiga, soal kepuasan masyarakat. Lanjut Hendrico, untuk tahapan ini Ombudsman melakukannya dengan cara terbuka dan tertutup. “Yang terbuka itu, dari nomor kontak masyarakat sebagai pengguna yang ada, kami hubungi satu per satu,” urainya.

Wawancara Ombudsman itu, utamanya lebih memastikan apakah masyarakat sudah mendapatkan pelayanan. “Pertama, kami tanya apakah ada penundaan, berlarut-larut. Misal mengajukan permohonan bulan 1, tapi baru penerbitan bulan 7. Nah itu kami ukur, waktu standarnya sebenarnya berapa lama,” jelasnya.

Pertanyaan kedua kepada masyarakat, bagaimana petugas kantor itu melayaninya. Ada masyarakat menyebut petugasnya baik, ada juga mengungkapkan petugasnya ketus. ”Masyarakat baru bertanya sedikit, petugasnya sudah mau marah. Ya seperti itu, ada temuan kami,” bebernya lagi.

Pertanyaan ketiga soal pungutan liar (pungli). Kepada masyarakat yang ditanya, ada yang jujur mengakui pungli itu masih ada. Ada juga yang masih malu-malu mengungkapkannya. “Nah untuk yang malu-malu ini, kami lakukan wawancara secara tertutup,” ulas Hendrico.

Utamanya soal dugaan pungli, Ombudsman menurunkan tim secara tertutup. Wawancaranya tidak terbatas dengan tempat, bisa di lingkungan kantor BPN, atau di luar kantornya. “Bisa di mana saja, dan kami pastikan itu terdokumentasi dengan baik. Ada buktinya,” bebernya.

Pertanyaan keempat kepada masyarakat, soal penyimpangan prosedur. Apakah ada prosedur yang dilangkahi oleh oknum BPN yang menangani. “Bypass misalnya,” sampainya.

Pertanyaan kelima, soal kompetensi pegawainya. Karena Ombudsman pernah ada temuan, yang melayani selesai hanya petugas sekuriti. ”Padahal sekuriti tidak punya kompetensi untuk itu. Nah itulah akhirnya yang jadi temuan,” katanya.

Dalam hal wawancara ini, Ombudsman paling sedikit menanyakan kepada 30 orang. Paling banyak tidak terbatas. “Sepanjang dalam penilaian ada yang memberi informasi, akan kami tampung dan tindaklanjuti,” tegasnya.

Kemudian tahapan terakhir atau keempat dalam penilaian, yakni pengelolaan pengaduan. “Kalau kita singgung di BPN Palembang, inilah yang menjadi salah satu titik lemahnya. Kami lihat, banyak pengaduan yang tidak selesai tepat waktu, bahkan ada yang tidak selesai. Kita tahulah istilah-istilah itu, pengaduan di BPN Palembang ini ‘kan luar biasa,” ungkapnya.

Lanjut Hendrico, esensinya dalam konsep pengaduan itu, yang penting dilayani dahulu. Namun yang terjadi masyarakat sudah bersurat, tapi tidak ditanggapi. “Itu bagi Ombudsman, esensinya bukan pada tahap selesainya. Tapi bagaimana mereka melayaninya,” jelasnya.

Tidak bisa dengan anggapan, diselesaikan satu per satu dulu. Karena ini soal pelayanan publik. Masyarakat yang tidak terlayani dan tidak puas, akhirnya melapor ke Ombudsman. “Kami sudah sering ingatkan, kalau dapat kiriman surat dari masyarakat. Minimal balas dengan selembar surat pun,” ujarnya.

“Misal isi surat balasannya, terima kasih atas pengaduannya, nanti akan ditindaklanjuti, silakan hubungi nomor ini. Itu pun cukup sebenarnya. Tapi ini tidak dibalas sama sekali,” tambah Hendrico.

Kendala sumber daya manusia (SDM), bagi Ombudsman itu bukanlah alasan. “Berarti manajemen konflik di kantor itu belum berjalan dengan baik, untuk soal pengaduan tersebut. Jadi, itulah intinya 4 tahapan penilaian yang dilakukan Ombudsman,” katanya.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan