DBH Migas Makin Anjlok

 

*2023 Terima Rp277,2 Miliar

 PALEMBANG - Kekayaan Provinsi Sumatera Selatan atas sumber daya alam tak diragukan lagi. Minyak dan gas bumi (migas) menjadi salah satu sumber daya alam (SDA) terbesar yang ada di Sumsel. Dan setiap tahunnya, migas di Sumsel mampu menopang pertumbuhan ekonomi di Tanah Air. Namun nyatanya, dana bagi hasil (DBH) yang diterima Provinsi Sumsel dan kabupaten/kota penghasil migas belum terlalu memuaskan. DBH yang diharapkan dapat menopang kesejahteraan masyarakat di kabupaten/kota di Sumsel ternyata tak begitu besar. BACA JUGA : Tingkat Kemiskinan Ekstrim Di Sumsel Bertambah

DBH yang diterima Provinsi Sumsel dan kabupaten/kota dirasakan masih kurang. Hal inilah menuai protes keras dari Pemprov Sumsel dan pemda di Sumsel. Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Sumatra Selatan, Hendriansyah melalui Kepala Bidang Energi, Ariansyah mengatakan, sejak dua tahun lalu, pihaknya sudah mengirimkan surat kepada Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri terkait mekanisme perhitungan DBH yang dinilai tidak transparan.

“Yang kita protes adalah transparansi dan mekanisme perhitungan DBH. Sebab kita sebagai daerah penghasil migas, namun pada nyatanya perhitungan DBH migas dinilai tidak relevan,” ucapnya, kemarin. Ia menjelaskan, berdasarkan data yang diterima pihaknya, DBH migas yang diperoleh Sumsel sejak 2018 hingga kini selalu mengalami penyusutan besaran.

Di 2018, DBH migas yang diterima Sumsel sebesar Rp518 miliar, pada 2019 Rp471 miliar, 2020 sebesar Rp339 miliar, dan 2021 Rp406 miliar. “DBH migas yang diterima tahun 2021 sedikit mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Namun di tahun selanjutnya, besaran DBH yang diterima turun lagi,” ucapnya. Seperti 2022, pihaknya menerima Rp357 miliar dan baru-baru ini tercatat DBH migas yang diterima Sumsel sebanyak Rp277,2 miliar.

“Dengan kondisi ini, tentunya kami akan kembali menggencarkan protes kepada pusat. Kami sudah mengetahui apa penyebab DBH migas yang kita terima kecil. Namun, kami tetap meminta pusat agar menjelaskan mekanisme perhitungannya kenapa demikian dan tidak memenuhi asas keadilan,” jelas Ariansyah.

Bukan hanya Sumsel, hal yang sama juga dialami oleh 10 kabupaten/kota yang merupakan daerah penghasil migas. Kesepuluh kabupaten/kota ini selalu mendapat 6 persen pembagian DBH migas. Sementara 3 persen pembagian DBH migas diterima Provinsi Sumsel dan 6 persen lagi dibagikan ke daerah non penghasil migas. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemda serta Peraturan Pemerintah RI Nomor 55/2005 tentang Dana Perimbangan (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 137), ditetapkan besaran DBH antara Pemerintah Pusat dan pemda di sektor pertambangan migas.

“Kita tidak tahu pertimbangan pusat seperti apa. Tidak detail dalam perhitungan DBH migas. Di dalam mekanismenya juga mereka tidak menjelaskan,” ucapnya. Permasalahan juga dialami Pemerintah Kota Prabumulih, dimana kota ini pada 2021 tercatat lifting minyak bumi sebesar 1.246,47 ribu barel dan gas bumi sebesar 5.853,75 MMBTU. Namun sampai saat ini Kota Prabumulih belum mendapat pembagian DBH migas sebagai daerah penghasil.

“Kota Prabumulih adalah daerah penghasil minyak dan gas bumi yang cukup besar, namun sampai sekarang mereka hanya mendapat pembagian DBH sebagai daerah non penghasil. Kami sudah pernah mengajukan hal ini kepada pusat. Bahkan Pemkot Prabumulih pun akan segera protes dan berkirim surat ke pusat juga,” jelasnya.

Ariansyah menegaskan selama ini selalu ada dua alasan yang diberikan pusat kepada daerah perihal penyebab DBH mengalami penurunan. Yakni lifting produksi minyak dan gas di daerah yang turun dan juga harga minyak dunia yang alami penurunan. “Dalam catatan kami, lifting dan produksi di Sumsel umumnya relatif stabil, ada penurunan namun tak signifikan. Inti protes yang kita ajukan bukan dikehendaki karena inginnya DBH migas naik, namun variable pengali dalam penentuan DBH harus dievaluasi oleh pusat,” pungkasnya.

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pembendaharaan Sumatera Selatan, Lydia Kurniawati Christyana menyebut untuk perhitungan DBH migas dipengaruhi beberapa faktor. “Penghitungan DBH migas ini kan disesuaikan juga dengan harga lifting minyak dan gas. Sebetulnya Kementerian/Lembaga yang harus berkoordinasi sampai jadi angka berapa, dan oleh Kementerian Keuangan masuk ke formula, bukan Kemenkeu saja, jadi perhitungannya justru oleh kementerian teknis, ESDM dan SKK Migas. Kemenkeu mendapatkan angka dari perhitungan kementerian teknis tadi,” ucap Lydia.

Oleh Kemenkeu, kata dia, kemudian dihitung berdasarkan formula. “Kalau ada kenapa turun, tentu tidak bisa satu sisi Kemenkeu menjawab. Kalau dari formula yang dibuat oleh Kemenkeu, tentu telah dihitung secara formula,” ucapnya. Kemudian kenapa turun? Lydia menjelaskan, daerah harus melihat juga kucuran DAK fisik dan DAU yang dialokasikan dari Kemenkeu.

“Oke dari DBH turun tapi dilihat dari DAK fisik naik tidak, dari DAU naik tidak, dana operasional sekolah naik tidak. Sehingga bisa menggambarkan utuh, bahwa sumber-sumber dana penerimaan ini tidak hanya untuk kemudian dikembalikan lagi ke DBH tapi untuk memenuhi proposal daerah tadi. DAK fisik itu proposalnya dari daerah, jadi itu harus dibandingkan,” jelasnya. (yun/fad/)  

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan