Debat Cawapres Usai. Janji Ketiga Cawapres Dinilai Retorika

CATATAN : Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak saat memberi catatan kritis pada debat cawapres.--

JAKARTA,SUMATERAEKSPRES.ID - Debat para calon wakil presiden (cawapres) sudah berakhir. Kini sejumlah pengamat menilai janji yang diberikan ketiga cawapres hanya sekedar retorika belaka.

Seperti diungkapkan Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak saat memberi catatan kritis terhadap debat terkahir para cawapres yang ditayangkan di beberapa teleivis nasional.

Menurut Leonard Simanjuntak, ketiga cawapres tidak memaparkan secara jelas program mengatasi krisis iklim hingga reformasi agraria yang tak menyentuh akar masalah.

"Kami menyesalkan tidak adanya komitmen yang komprehensif, jelas, dan terukur untuk mengatasi krisis iklim," katanya.

BACA JUGA:Tak Mau Kalah Debat Calon Wapres, Timses Saling Klaim Menang

BACA JUGA:Gibran 2 Kali Sebut Nama Tom Lembong dalam Debat Cawapres 2, Cak Imin : Saya Akan Telepon, Ada yang Kangen

Para cawapres, lanjutnya, gagal mengidentifikasi penyebab utama krisis iklim, yaitu alih fungsi lahan dan sektor energi dengan masifnya penggunaan batu bara.

Ia menilai ide-ide yang digaungkan jauh dari harapan penanganan krisis iklim.

"Dari debat, kita menyaksikan ekonomi ekstraktif masih menjadi watak dalam visi para capres dan cawapres. Padahal, watak ekonomi ekstraktif selama ini telah memicu banyak masalah," katanya.

BACA JUGA:Bahas 6 Tema, Debat Cawapres ke-2 Dipandu 2 Moderator Perempuan, Catat Waktunya

BACA JUGA:Peran dan Fungsi Panelis Debat Capres-Cawapres, Tanggung Jawab Lebih dari Sekedar Membuat Pertanyaan

Mulai ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan tanah yang akhirnya melahirkan berbagai konflik agraria. Lalu, merampas hak-hak masyarakat adat, masyarakat lokal, hingga masyarakat pesisir.

"Belum lagi merusak hutan dan lahan gambut, mencemari lingkungan, membuat Indonesia menjadi salah satu negara emiter besar karena ketergantungan pada industri batu bara yang sekaligus memperparah krisis iklim," jelasnya.

Begitu juga isu reformasi agraria, gagasan para cawapres tidak menyentuh akar masalah.

BACA JUGA:Meski Dikritik Jokowi, KPU Tetap Gunakan Format Sama dalam Debat Pilpres, Ini Alasannya

BACA JUGA:Viral Reaksi Menangis di Medsos Pasca Debat Capres, Makin Hari Terus Bertambah

"Para cawapres tidak membahas penyelesaian konflik-konflik agraria akibat proyek-proyek strategis nasional (PSN)," tuturnya.

Cawapres 02 dan 03, misalnya, hanya menyinggung soal rencana sertifikasi dan redistribusi lahan tanpa menyentuh akar masalah.

"Padahal, data Konsorsium Pembaruan Agraria mengungkap ada 42 konflik agraria akibat PSN pada 2023," tuturnya.

Data ini, katanya, melonjak eskalasinya dibanding tahun sebelumnya. Konflik ini meliputi 516.409 hektare lahan.

BACA JUGA:Debat Capres 2024, Prabowo: Fungsi Utama Negara adalah Melindungi Warganya

BACA JUGA:Debat Capres 2024, Prabowo: Agar Masyarakat Hidup Layak, Kekayaan Negara Harus Dijaga

"Dan ini berdampak terhadap lebih dari 85 ribu keluarga," jelasnya.

Dikatakannya, tiga cawapres berjanji mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Namun janji semacam ini selalu disampaikan dari pemilu ke pemilu.

"Tapi, dari keengganan sikap politik presiden terpilih dan partai politik pendukung selama ini, menggambarkan bahwa mengakui dan melindungi masyarakat adat tak lebih dari sekadar retorika," jelasnya.

Menurutnya, tanpa mencabut Undang-Undang Cipta Kerja dan menghentikan PSN yang merampas wilayah masyarakat adat, janji itu cuma akan jadi omong kosong.

BACA JUGA:Debat Panas soal Pertahanan, Moderator Terpaksa Berulang Kali ‘Mohon Tenang’

BACA JUGA:Ketua Komisi I DPR Syukuri Data Pertahanan Negara Tidak Terbongkar Saat Debat Capres

"Sebab, ruang hidup masyarakat adat akan terus tergerus akibat pembukaan lahan dan deforestasi," lanjutnya.

Ia juga mengatakan pernyataan cawapres 01 tentang reforestasi untuk mengatasi deforestasi jelas tak menjawab persoalan.

"Kerusakan hutan akibat deforestasi, termasuk seperti yang terjadi di food estate Gunung Mas Kalimantan Tengah, tak bisa serta-merta dibereskan dengan melakukan penanaman kembali," tambahnya.

Pemulihan hutan yang rusak dengan cara reforestasi memang harus dilakukan. Namun, yang paling krusial sebenarnya adalah menghentikan deforestasi.

BACA JUGA:Prabowo Jelang Debat: Pertahanan Jangan Dipolitisasi untuk Kepentingan Jangka Pendek

BACA JUGA:Strategi Debat Anies Menjatuhkan, Pengamat: Warga Terbukti Tak Suka

"Merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sepanjang 2015–2022, angka deforestasi mencapai 3,1 juta hektare," katanya.

Deforestasi terencana juga mengancam hutan alam Papua yang kini tersisa 34 juta hektare per 2022.

Sepanjang 1992–2019, ada 72 surat keputusan pelepasan kawasan hutan di tanah Papua yang dibuat menteri kehutanan.

"Total pelepasan kawasan hutan ini seluas 1,5 juta hektare dan 1,1, juta hektare di antaranya masih berupa hutan alam dan gambut," pungkasnya. (rf)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan