https://sumateraekspres.bacakoran.co/

PARADOKS ANTI KORUPSI

Mahendra Kusuma, SH, MH. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Palembang)-FOTO: IST-

Padahal, pemilih (masyarakat) sendiri seringkali rela menjual suara daulat rakyat demi beberapa lembar rupiah (vote buying).

Tahun 2013, survei Asian Foundation menemukan 56 persen dari pemilih menganggap menerima uang dalam pemilu bukanlah hal yang negatif. Pada tahun yang sama, survei KPK menemukan 78,2 persen dari pemilih mempunyai pengalaman dengan masalah politik uang (money politic).

Begitu pula survei Indo Barometer di Pilgub Banten 2017, sebanyak 45,6 persen mengaku akan menerima politik uang dan memilih calon yang memberi uang/barang tersebut.

Suka tidak suka, di negeri ini kaum koruptor telah menjelma menjadi kelas sosial baru. Ini terjadi seiring dengan makin menguatnya dan membesarnya masyarakat permisif. Yakni masyarakat yang semakin terbuka dan serba boleh, tempat nilai, etika, moral, dan norma semakin melonggar dan relatif.

Perilaku mencuri atau korupsi yang semula dianggap sebagai tabu dan hina/nista kini semakin dianggap wajar dan biasa. Orang justru dianggap “bersalah” karena tidak korupsi ketika berkuasa dan segalanya sangat mungkin dilakukan. (Indra Tranggono, 2017).

Perilaku korup pun dominan dalam langgam kehidupan masyarakat permisif. Orang-orang pun berlomba-lomba untuk melakukan korupsi. Regenerasi koruptor pun terjadi secara sempurna. Tingkat pencapaian korupsi pun semakin meningkat.

Hal ini juga menjadi salah satu penyebab sulitnya memberantas tindak pidana korupsi.  Sepertinya korupsi sudah sampai pada apa yang disebut oleh Robert Klitgaard sebagai budaya korupsi. Bung Hatta pernah juga mengemukakan bahwa korupsi telah menjadi budaya di Indonesia.

Menarik pernyataan Prof. Denny Indryana (2018) yang menyatakan bahwa korupsi merajalela karena kitalah yang membiarkan. Jika bukan karena kita terlibat secara aktif, kita membiarkannya. Dosa pembiaran yang mungkin memang harus disamakan dengan sebagai pelaku, meski secara pasif.

Masyarakat harus diberikan pemahaman bahwa korupsi maupun politik uang adalah suatu perbuatan yang tak wajar. Selain itu, pesan-pesan yang masih terkesan permisif seperti “terima uangnya, jangan  pilih orangnya” sudah seharusnya tak lagi digunakan.

Masyarakat harus diedukasi untuk tidak mentoleransi politik uang dalam bentuk apapun karena mereka percaya bahwa itu adalah hal yang nista.

Menurut penulis, korupsi tak dapat dilihat sebagai persoalan individual. Kasus korupsi, apalagi yang melibatkan elite politik, merupakan dinamika rumit dari berbagai faktor. Why Corruption Matters: Understanding Causes, Effect and How to Addres Them, yang dikeluarkan Departemen Pembangunan Internasional, Inggris, tahun 2015, menyebutkan, korupsi bersifat kolektif, melampaui keuntungan pribadi, mencakup kepentingan dan manfaat yang luas dalam sistem politik.

Disebutkan pula, demokrasi tak serta merta mengurangi korupsi. Dengan kata lain, tidak ada resep tunggal untuk menghapus korupsi. Perlu kerja sama berbagai pihak: aparat, masyarakat sipil, dan media (***)

.

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan