PARADOKS ANTI KORUPSI
Mahendra Kusuma, SH, MH. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Palembang)-FOTO: IST-
Ada semacam paradoks dalam masyarakat tentang korupsi. Adalah hal yang lumrah ketika seseorang akan menjadi pejabat publik, menteri, anggota parlemen, komisioner, maupun kepala daerah selalu melontarkan janji tidak akan melakukan korupsi.
Mereka selalu berkomitmen untuk tidak akan melakukan perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara.
Setelah menduduki jabatannya mereka kemudian membuat banner, spanduk, pamflet di instansinya dengan tulisan zona integritas, anti suap, tolak gratifikasi, dan lain-lain.
Disamping itu, para menteri dan kepala daerah selesai dilantik biasanya memberikan wejangan kepada bawahannya untuk tidak melakukan korupsi serta mengundang KPK untuk melakukan sosialisasi dan pendampingan bagi aparatur di daerahnya agar tidak terjerat kasus korupsi.
BACA JUGA:Debat Capres Cawapres: Ganjar Tegaskan Ingin Sikat Korupsi
BACA JUGA:Wujudkan Pemerintahan Bebas Korupsi
Namun itu semua hanya slogan semata. Senyatanya banyak menteri, anggota parlemen di pusat dan daerah yang juga pengurus partai politik, komisioner KPK, para kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) yang menjadi tersangka dan terdakwa kasus korupsi.
Ironis, mereka yang berkomitmen justru mereka sendiri yang melakukan korupsi. Sebagai contohbaru-baruini, Ketua KPK, Menteri Komunikasi dan Informasi, MenteriPertanian, serta Wakil Menteri Hukum dan HAM yang terlibat kasus korupsi.
Berdasarkan berita yang dilansir Kompas (11/12/2019), dari 34 kementerian, 27 lembaga pemerintah nonkementerian, 76 lembaga nonstruktural, dan 514 pemerintahan kabupaten/kota, baru 16 kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang dinilai berhasil membangun zona integritas secara masif.
Ke-16 kementerian/lembaga dan pemerintah daerah itu juga memiliki minimal lima unit kerja yang menyandang predikat sebagai Wilayah Bebas Korupsi (WBK) serta Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani. Jumlah itu belum signifikan mengingat zona integritas menuju WBK dicanangkan sejak 2012.
Pun demikian juga dengan masyarakat yang selalu mengkritisi dan mengebu-gebu menyatakan antikorupsi, ternyata juga akhirnya bersikap permisif terhadap korupsi.
BACA JUGA:Korupsi di Indonesia Bak Penyakit Kronis
BACA JUGA:Pertama di Sumsel, Desa Muara Gula Baru Sebagai Desa Antikorupsi Tingkat Nasional
Adalah menarik dengan apa yang ditulis oleh Prof. Denny Indrayana (2018), kita sering mengkritik partai politik terkait jual beli mahar politik dalam pencalonan presiden ataupun calon legislatif (candidacy buying).