Ubah Batu
Disway Dahlan Iskan--
Tapi melihat nasib suami berakhir di bui, Dewanti tidak mau lagi maju untuk periode kedua nanti. Dari rumah duka saya tidak menyusul ke masjid. Bisa jadi jenazah sudah berangkat ke makam ketika saya tiba di masjid. Hujan turun dengan lebatnya. Saya memutuskan langsung ke makam. Mencegat jenazah di sana.
Saya melarang istri turun dari mobil. Tidak usah ikut ke makam. Hujan luar biasa derasnya. Payung hanya satu. Lebih baik saya pakai sendiri. Ada dua tenda di dekat liang lahat. Besar dan kecil. Tenda kecil tepat di atas liang lahat. Tenda besar berjarak 10 meter. Dua-duanya penuh dengan orang yang takut kuyup.
Saya pilih di bawah tenda besar. Penuh. Berjejal. Semua takut tempias. Tidak mungkin bisa menyalami istri maupun ibu almarhum. Saat lagi mencari kesempatan menyapa keluarga, seseorang menarik saya: harus pindah ke tenda kecil. Jenazah sudah akan tiba.
Maka di bawah hujan lebat jenazah masuk area makam. Sejumlah tentara baret hijau mengusungnya. Membawanya ke liang lahat. Bendera besar merah-putih menaungi jenazah di saat memasuki rumah masa depan.
Ketika tanah selesai ditimbunkan istri dan anak-anaknya diminta mendekat makam. Jadilah saya bersama mereka. Saling sapa. Saya ucapkan pula kalimat duka. Mungkin tidak terdengar seberapa. Kalah dengan air hujan yang begitu gemuruhnya.
Talkin pun dibacakan sepenuhnya dalam bahasa Arab. Panjang sekali. Lalu tabur bunga. Selesai. Sampai meninggalkan Taman Makam Pahlawan Batu itu saya belum berhasil mendapat keterangan: mengapa dimakamkan di TMP. Lima pejabat daerah yang saya tanya juga menjawab entah kenapa.
Yang jelas Eddy masih tetap di hati warga Batu. Merekalah yang konon memintanya. Memang Eddy-lah yang berhasil mengubah Batu.(*/)