Pekerja Akan Diupah Berdasar Output Kerja
--
“Penetapan upah minimum provinsi ditetapkan paling lambat 21 November (2023) dan untuk upah minimum kabupaten/ kota tanggal 30 November(2023)," pintanya.
Kelompok Buruh Tegas Menolak
Ketua DPC FSB Nikeuba Kota Palembang, Hermawan mengatakan PP Nomor 51/2023 rasanya tidak berpihak kepada buruh atau pekerja. Apalagi lagi variabel dan penentuan upah dilakukan tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi ekonomi yang ada saat ini.
"Sebelum melangkah jauh, PP No 51/2023 tersebut diajukan sebagai penyempurna PP No 36/2021 sekaligus turunan UU Ciptaker yang disahkan pemerintah dan DPR RI. Sehingga perumusan upah minimum buruh, merujuk PP sebagai implementasi UU Ciptaker," ungkap Hermawan.
Artinya dirinya dan segenap buruh serta pekerja menolaknya. Terlebih lagi draft isi PP, penentuan kenaikan upah menggunakan 2 sistem. Pertama melihat konsumsi rata-rata per kapita setiap wilayah dengan pertimbangan batas atas dan batas bawah.
Sehingga bila konsumsi rata-rata perkapita di wilayah tersebut tinggi, tentunya tidak memperhitungkan inflasi yang terjadi di wilayah tersebut. Akan tetapi bila konsumsi rata-rata perkapita masih rendah, maka itu ditambahkan angka inflasi yang terjadi pada daerah tersebut.
Sebagai contoh, hitungan dengan asumsi konsumsi rata-rata per kapita tercapai, maka dihitung dengan pertumbuhan ekonomi dengan indeks tertentu yang diatur 0,1-0,3 persen. “Dengan kata lain, berdasarkan perhitungan tersebut, kenaikan upah tidak sampai 2 persen atau paling tinggi 1,5 persen,” ujarnya
Bila perhitungan konsumsi rata-rata perkapita masih rendah, dalam perhitungannya menerapkan tiga variabel yakni inflasi + pertumbuhan ekonomi + variabel tertentu di kisaran 0,1-0,3 persen, tentunya angka ini masih di bawah tujuh persen.
Bukan hanya itu, penentuan konsumsi rata-rata perkapita melihat hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) di wilayah tadi. "Dari sejak survei saja sudah bermasalah, sebab yang dijadikan sampel survei tidak hanya kalangan buruh atau pekerja. Survei berdasarkan penduduk yang tidak semuanya buruh atau pekerja,” cetusnya.
Belum lagi jumlah keluarga dalam tanggungan buruh dan pekerja ini tidak sama dengan penduduk keseluruhan yang di dalamnya juga terdapat PNS, TNI-Polri dan sebagainya. “Jadi kalau ekuivalennya itu buruh atau pekerja, tentu hal tersebut juga akan didapatkan hasil yang berbeda," bebernya.
Oleh karena itu, kalaupun PP No 51/2023 diterapkan, hal tersebut akan berpengaruh signifikan pada income atau pendapatan atau upah buruh yang kenaikannya di bawah 7 persen. Sedangkan kalau memperhitungkan kebutuhan hidup layak, setidaknya kenaikan tersebut dapat mencapai 15 persen.
"FSB Nikeuba menolak tegas kebijakan dan penerapan PP No 51/2023 yang tidak sesuai harapan buruh atau pekerja," tegas Hermawan. Sebelumnya, penolakan juga datang dari Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN).
Presiden KSPN, Ristadi, menolak sistem perhitungan upah minimum provinsi (UMP) 2024, yang berdasarkan 3 variabel disiapkan pemerintah. Yakni, Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi, dan Indeks Tertentu.
Sebab untuk variabel Indeks Tertentu, buruh menganggapnya rancu dan berpotensi membuat kenaikan UMP tidak sesuai harapan. "Faktor Indeks Tertentu inilah yang memastikan kenaikan upah minimum di bawah 5 persen, jika inflasi berada di bawah 3 persen dan pertumbuhan ekonominya sekitar 5 persen," ulasnya.
“Karena hasil hitung-hitungan di atas tersebut, teman-teman anggota di pabrik menolak kenaikan upah minimum dengan variabel Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi, dan Indeks Tertentu tersebut," tegas Ristadi.