Saksi Uang
SUMATERAEKSPRES.ID- DIPERIKSA sebagai saksi tidak selamanya sumpek. Apalagi kalau pemeriksanya pintar. Saya lebih sering diperiksa oleh petugas yang pintar-pintar. Tentu ada kalanya petugas mengajak bicara soal di luar materi pemeriksaan. Misalnya bertanya soal pengalaman saya terkena sakit kanker berat. Sampai harus transplantasi hati.
Ada juga pemeriksa yang berterus terang: mengaku sebagai perokok berat. Ia minta ''izin'' sesekali meninggalkan ruang pemeriksaan. Rupanya ia harus merokok dulu. Ia juga heran mengapa saya tidak pernah merokok.
Ada lagi pemeriksa yang pangkatnya tidak tinggi tapi terlihat mendalami filsafat. Ia bukan lulusan akademi militer. Ia perwira yang direkrut dari universitas umum. Dari fakultas hukum.
Setelah mengajukan beberapa pertanyaan di pokok masalah, ia mengajak bicara soal lain. Awalnya saya kira itu pertanyaan pancingan. Ternyata sangat ilmiah, penuh dengan nilai filsafat hidup.
"Apakah di dunia ini ada pengusaha yang baik?" tanyanya. Ini pasti pancingan. Saya ingat waktu perkenalan tadi. Namanya diakhiri dengan marga Batak. Berarti ia Kristen. Rajin ke gereja. "Dari gereja HKBP ya?" tanya saya sebelum menjawab pertanyaannya.
"Saya kebetulan Katolik," jawabnya.
"Umumnya orang Batak gerejanya Huria Kristen Batak Protestan. Berarti pernah di seminari?" tanya saya."Oh...saya tidak pernah masuk seminari. Saya orang biasa," jawabnya.
"Di mana belajar filsafat?" "Suka baca buku filsafat saja," jawabnya.
Seorang petugas di sebelahnya nyeletuk: ia itu suka baca bukunya Aristoteles.
"Plato," tukasnya seperti mengoreksi temannya tadi. Lalu saya mencoba menjawab pertanyaan soal ''apakah di dunia ini ada pengusaha yang baik''. "Tidak banyak. Tapi ada," jawab saya.
"Menurut saya tidak ada," katanya. "Bagaimana bisa tidak ada?" "Pengusaha itu harus jualan. Berarti merebut konsumennya orang lain. Bagaimana bisa disebut baik," katanya. "Saya setuju dengan Anda kalau pengertian 'baik' sampai sejauh itu," kata saya.
"Memang untuk berbuat baik kadang perlu uang..," katanya.
Lalu saya mengutip kata-kata teman saya, seorang pengusaha Tionghoa, yang tidak pernah saya lupa. Kali ini saya ucapkan agak pelan agar ia mencerna dengan baik: "Tuhan itu baik. Tapi hanya uang yang bisa membuat orang mengatakan Tuhan itu baik."
Ia tampak serius memikirkan kata-kata itu. Merenungkannya. Lalu mengangguk-angguk.
"Iya sih, untuk berbuat baik perlu uang..." katanya.
Di gereja, kata saya, soal ini juga jadi perdebatan yang seru. Memberi pelayanan dulu atau punya uang dulu. Saya pun menyebut beberapa nama gereja yang begitu aktif mencari uang. Alasannya: agar bisa memberikan pelayanan lebih baik.
Ia lantas bicara soal uang. "Untuk apa uang. Untuk apa tidak habis-habisnya mencari uang?" Saya merasa pertanyaan itu untuk saya pribadi. Maka saya harus menjawabnya jujur. "Saya juga tidak tahu untuk apa uang. Bahkan saya juga tidak tahu untuk apa kerja mati-matian siang malam". "Lalu untuk apa?"
"Masalahnya saya suka bekerja. Saya menikmati pekerjaan. Saya merasa terhibur saat bekerja. Saya tidak main golf. Tidak ke bar. Tidak ke karaoke. Tidak minum-minum. Tidak punya jam tangan". "Tapi kenapa begitu mati-matian?"
Saya tidak bisa menjawab. Tapi saya harus menjawab. Setelah diam sejenak, saya berucap: "mungkin karena saya laki-laki....". Kalau tidak bekerja akan cepat tua. Ia lantas mengingatkan. Untuk apa hidup. Pada dasarnya tujuan hidup hanya untuk mengembangkan gen. Untuk mempunyai keturunan. Setelah itu, mati. Selesai.
Saya setuju dengan kata-katanya. "Uang baru bermakna saat digunakan..." tambahnya. Itu betul. Saya juga tahu. Maka saya teruskan kata-katanya itu: "Uang yang begitu banyak kalau tidak dipakai tidak bisa disebut uang. Itu hanya deretan angka-angka. Tumpukan angka.
Maka saya sampaikan satu kesimpulan: yang penting pengusaha itu harus tahu batas. Tidak rakus. Harus bisa membedakan mana uang, mana angka. Pemeriksaan belum selesai. Lalu diteruskan. Kembali ke pokok perkara. Hakim yang menangani perkara Donald Trump juga pencinta filsafat. Mungkin ia juga heran melihat ada orang seperti Trump. (*)