Tanah Abang
ADA yang minta saya untuk sesekali ke Pasar Tanah Abang, Jakarta. Masih sepi, tapi saya harus melihatnya. Terutama bagaimana pedagang harus cari cara sendiri-sendiri untuk tetap bisa hidup. Dia sering ke Tanah Abang: belanja untuk dijual lagi. Dia melihat Blog G tetap ‘’hancur’’ dan seperti tidak tahu harus diapakan. Mungkin perlu meniru ide Wali Kota Boston, Amerika Serikat: mengubah gedung-gedung perkantoran yang kosong menjadi rumah apartemen. Sejak pandemi Covid-19, di Boston, banyak kantor tutup. Mereka WFH. Setelah Covid berlalu mereka telanjur biasa WFH. Di pihak lain gelandangan kian banyak, pun di Boston. Maka wali kota pertama yang bukan kulit putih itu membuat keputusan migrasi perkantoran ke perumahan. Dia keturunan Tionghoa. Orang tuanya imigran dari Taiwan. Wali Kota akan memberikan berbagai insentif untuk perubahan fungsi itu. Tapi pemilik gedung ragu-ragu. Mengubah gedung perkantoran menjadi perumahan tidak mudah. Juga tidak murah. Mendingan membangun apartemen baru. Sekarang diskusi untuk ide wali kota itu meluas. Banyak kota besar di Amerika menghadapi persoalan yang sama. Termasuk San Francisco di pantai barat Amerika. Blok F Tanah Abang, kata Wanita Disway itu, masih hidup. Meski tidak bisa dikatakan hidup baru. Inilah blok untuk perdagangan partai besar. Saya lebih diminta ke Blok A dan B. Yang hanya hidup di lantai 1, 2, dan 3-nya. Sedang 4, 5, 6, 7 masih seperti selama ini: mati. Belum ada ide bagaimana menghidupkannya. Yang sudah ada adalah ide dari masing-masing pedagang. Agar tetap bisa hidup. Salah satunya adalah: live streaming. Dari masing-masing toko. Saya diminta melihatnya karena menarik. Dia sendiri sering berhenti di depan sebuah toko untuk menonton. Pemilik toko merangkap jadi presenter. Dalam hati dia ingin meniru. Untuk melariskan dagangan. Tapi belum pede. Banyak toko yang melengkapi diri dengan kamera, lampu sorot, dan tiang penyangga handphone. Atau cukup lampu sorot dan tiang ponsel. Lalu pemilik toko bicara sendiri di depan handphone. Sambil memeragakan pakaian yang dijual. Harus mejeng. Ganti-ganti gaya. Seperti seorang peragawati. Wajah harus di-make-up. Ekspresi dan gaya harus seperti bintang iklan. Di bawah tiang penyangga handphonebiasanya ada satu pegawai yang jongkok. Pegawai itulah yang menyodorkan pakaian baru untuk diperagakan. Ganti-berganti. Tiba-tiba saja, kata Wanita Disway tersebut, lahir begitu banyak presenter. Dia mulai tertarik. Mungkin harus ikut juga cara itu. Persoalan besarnya: bagaimana bisa pede seperti mereka. Dia terus melihat. Dari satu toko ke toko lain. Mereka juga tidak cantik. Tidak harus cantik. Tapi memang harus menarik. Dan berani bergaya. Bergoyang. Berekspresi. Belakangan ia melihat perkembangan baru. Toko-toko yang sepi diubah menjadi studio live streaming. Satu toko yang kecil itu dibagi-bagi menjadi beberapa petak. Tiap kotak menjadi satu studio mini. Pemilik toko yang kurang pede bisa minta jasa studio mini tersebut. Maka lahirlah profesi baru: peraga pakaian. Tidak harus cantik. Yang penting: menarik. Pinter bergaya. Pandai bicara. Beberapa toko pun memasang iklan mencari presenter. Lalu muncul tempat pendidikan menjadi presenter. Terutama soal bagaimana menguasai model-model pakaian. Mereka punya kesimpulan: barang mereka baru laku kalau dijual dengan cara itu. Istilah mereka: dijual pakai live shopping. Tanah Abang begitu raksasa. Begitu banyak toko yang kosong. Sebaliknya, seperti dikatakan anggota baru Dewan Pertimbangan Presiden Djan Farid, kekurangan rumah begitu besar. Djan Faridz adalah pemilik Tanah Abang. Ia baru saja menjadi berita di TV Nasional. Ia menyatakan keprihatinan soal kurangnya penyediaan rumah yang layak untuk masyarakat. Tanah Abang akan menjadi saksi akan menjadi apa kelak, ketika perdagangan model lama dibunuh oleh perdagangan online.(*)