https://sumateraekspres.bacakoran.co/

ULN Naik Tipis, Jadi US$194 M

*Untuk Dukung Pembiayaan Produktif

JAKARTA - Utang luar negeri (ULN) Indonesia pada April 2023 lebih rendah dari bulan sebelumnya. Kontraksi tersebut bersumber dari penurunan ULN sektor swasta, sedangkan ULN pemerintah justru naik.

Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono menuturkan, posisi ULN Indonesia per akhir April 2023 tercatat USD403,1  miliar.

Meski secara total menurun 1,3 persen, namun ULN pemerintah justru naik. Dari USD194 miliar pada Maret 2023 menjadi USD194,1 miliar pada April 2023 atau tumbuh 1,8 persen.

"Perkembangan ULN ini dipengaruhi oleh penempatan investasi portofolio di pasar surat berharga negara (SBN) domestik.

Seiring dengan sentimen positif pelaku pasar global yang tetap terjaga," jelas Erwin.

Penarikan ULN pemerintah pada April 2023, lanjut dia, masih diutamakan untuk mendukung pembiayaan sektor produktif dan prioritas.

Seperti sektor jasa kesehatan dan sosial, administrasi pemerintah, pertahanan, jasa pendidikan, serta konstruksi.

Khususnya untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian perekonomian global.

Erwin memastikan, posisi ULN pemerintah relatif aman dan terkendali. Mengingat hampir seluruh ULN memiliki tenor jangka panjang.

"Dengan pangsa mencapai 99,9 persen dari total ULN pemerintah," terangnya. Sementara ULN swasta melanjutkan tren penurunan.

Posisi ULN swasta per April 2023 sebesar USD199,6 miliar dari USD199,9 miliar di bulan sebelumnya. Secara tahunan, terkontraksi 4,5 persen.

Berdasarkan sektor ekonomi, ULN swasta terbesar bersumber dari sektor jasa keuangan dan asuransi.

Kemudian, industri pengolahan, pengadaan listrik, gas, uap/air panas, dan udara dingin.

Diikuti pertambangan dan penggalian. Keseluruhan itu memiliki pangsa mencapai 78 persen dari total ULN swasta.

Terpisah, Direktur Studi Tiongkok-Indonesia Center of Economic and Law Studies (Celios) M Zulfikar Rakhmat menyatakan, ketergantungan Indonesia terhadap Tiongkok terlihat semakin nyata.

Sehingga telah menciptakan iklim ekonomi domestik yang negatif. Selama 2021, nilai ekspor Indonesia ke Negeri Tirai Bambu itu mencapai USD63,63 miliar.

Didominasi oleh ekspor bahan bakar mineral dan nikel.

Sedangkan, nilai impor dari Tiongkok juga kian meningkat menjadi USD60,71 miliar. Mayoritas adalah bahan baku yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas industri dalam negeri.

Apalagi, Tiongkok saat ini tengah memimpin banyak proyek pembangunan infrastruktur besar di Tanah Air.

Salah satu yang terbesar adalah proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) senilai USD8 miliar.

Kedua negara juga telah menandatangani kesepakatan untuk mulai meningkatkan penggunaan mata uang Chinese yuan (CY) dan meninggalkan pemakaian dolar Amerika Serikat (USD) dalam seluruh transaksi kerja sama.

"Tentunya hal tersebut akan menghadirkan berbagai risiko, salah satunya Indonesia harus menyiapkan strategi mitigasi untuk menghindari situasi yang tidak diinginkan, seperti jebakan utang atau debt trap," ucap Zulfikar dalam diskusi publik akhir pekan lalu. (jp/fad)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan