Badai Berlalu
SAYA juga suka membaca buku tentang tokoh bisnis: termasuk buku Vier Abdul Jamal ini. Sudah dicetak ulang tiga kali.
Kulit muka bukunya: foto Vier sendiri. Ia mengenakan busana ningrat Jawa yang lagi memegang dua tokoh wayang: Semar dan Petruk.
Vier orang NTT. Atau Papua. Atau Pontianak –campuran dari semua itu.
Bahwa ia tampil dalam pakaian Jawa itu untuk berterima kasih pada Jawa: usahanya berkembang pesat di Pulau Jawa.
Yang ia maksud dengan Pulau Jawa adalah Jakarta.
Buku ini menyebut Vier sebagai legenda pasar modal Indonesia. Legenda.
Ia kaya berkat dari perdagangan saham: ketika uang Rp1 miliar pun belum pernah punya, tiba-tiba dapat uang ratusan miliar.
Saya bertemu Vier hari Minggu sore lalu. Di kantornya yang elegan.
Yang dipaksa buka di hari libur. Di Kebayoran Baru Jakarta. Istrinya, Maya, ikut nimbrung. Sang istri lulusan akuntansi Universitas Airlangga. Mereka punya anak empat orang.
Vier ternyata seperti pengusaha sukses pada umumnya: pernah diempaskan gelombang besar. Sangat besar.
Bagi saya gelombang yang menggulung Vier itu terlalu besar. Terlalu menakutkan: sampai jadi buron interpol. Awalnya Vier akan ditangkap di Jakarta. Beberapa jam sebelumnya ia menerima telepon dari seorang temannya.
"Anda sedang membawa paspor?" tanya teman itu. "Paspor selalu saya bawa," jawab Vier.
"Sekarang juga Anda ke bandara. Terbang ke negara mana saja yang bisa," ujar sang teman lagi. Itu tahun 2010. Sore hari.
Vier tahu apa yang akan terjadi. Sudah tiga bulan ia berurusan dengan polisi. Semula ia tenang-tenang saja. Ia tidak merasa bersalah. Sedikit pun.
Tapi ia juga tahu: pelapornya adalah orang kuat. Dari lingkungan tujuh naga. Itu yang membuat Vier memilih kabur ke luar negeri: Singapura.
Setahun di sana. Lalu ke Malaysia. Lima tahun di Malaysia.
Betapa mencekam hidup enam tahun dalam incaran interpol. Untung ada Maya. Cantik. Mampu.
Maya-lah yang lantas mengendalikan usaha sang suami. Selama enam tahun Maya mondar-mandir Jakarta, Surabaya, Padang, Singapura, dan Kuala Lumpur.
Akhirnya Vier bisa melewati gelombang besar itu: 2016.