Reforma Agraria: Mengatasi Ketimpangan Tanah untuk Kesejahteraan Rakyat
Nabila Salwa Zahrani, SH Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada--
SUMATERAEKSPRES.ID - Reforma agraria atau sering disebut landreform adalah upaya pemerintah menata ulang penguasaan, kepemilikan, dan pemanfaatan tanah agar lebih adil.
Di Indonesia, program ini menjadi solusi strategis untuk mengatasi ketimpangan agraria yang masih menjadi masalah serius. Banyak masyarakat, terutama di pedesaan, kesulitan mengakses tanah untuk bercocok tanam atau membangun kehidupan yang layak.
BACA JUGA:Pancasila di Era Disrupsi Antara Nostalgia dan Aksi Nyata
BACA JUGA:Miris, Sampah Masih Menumpuk di Jalan Protokol Palembang Meski Berstatus Kota BARI
Ketimpangan ini tidak hanya menghambat kesejahteraan, tetapi juga memicu konflik dan kemiskinan struktural. Oleh karena itu, reforma agraria hadir untuk memastikan tanah dikelola demi kemakmuran rakyat.
Reforma agraria memiliki dua pilar utama: penataan aset dan penataan akses. Penataan aset mencakup redistribusi tanah, seperti pembagian tanah dari kawasan hutan yang dilepaskan atau tanah negara yang tidak produktif, serta legalisasi kepemilikan tanah melalui sertifikasi.
Sementara itu, penataan akses fokus pada pemberdayaan masyarakat agar mereka dapat memanfaatkan tanah secara produktif, misalnya melalui pelatihan pertanian atau akses ke modal usaha.
Program ini bertujuan mengurangi kesenjangan antara petani kecil dan pemilik lahan besar, sekaligus meningkatkan produktivitas sektor agraria.
Pelaksanaan reforma agraria di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan. Salah satu hambatan utama adalah kepentingan sektoral antarlembaga pemerintah.
Misalnya, koordinasi antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sering kali tersendat, terutama dalam pelepasan kawasan hutan untuk redistribusi tanah.
Data menunjukkan bahwa dari target 4,1 juta hektare tanah hutan yang akan didistribusikan, hanya 9,26% yang tercapai. Selain itu, masalah administrasi, seperti kurangnya dokumen kepemilikan tanah atau tumpang tindih data, juga memperlambat proses sertifikasi dan redistribusi.
Tantangan lain adalah keterbatasan partisipasi masyarakat. Banyak warga, terutama kelompok rentan seperti petani gurem atau masyarakat adat, belum terlibat secara aktif dalam proses pengambilan keputusan.
Padahal, keterlibatan masyarakat sangat penting untuk memastikan program ini tepat sasaran dan sesuai kebutuhan lokal. Selain itu, anggaran yang tersebar di berbagai instansi sering kali tidak dikelola secara terpadu, sehingga menghambat efektivitas program.
Pemerintah perlu mengambil langkah strategis. Pertama, harmonisasi regulasi menjadi kunci. Saat ini, aturan agraria tersebar di berbagai undang-undang sektoral, seperti undang-undang kehutanan dan pertambangan, yang sering kali bertentangan.
