Sumatera Ekspres | Baca Koran Sumeks Online | Koran Sumeks Hari ini | SUMATERAEKSPRES.ID - SUMATERAEKSPRES.ID Koran Sumeks Hari ini - Berita Terhangat - Berita Terbaru - Berita Online - Koran Sumatera Ekspres

https://sumateraekspres.bacakoran.co/

Mitsubishi baru

TKA dan Cermin Pendidikan

Ramlan Effendi MPd Kepala SMPN 4 Kikim Selatan Lahat-Foto : Ist-

Ironisnya, di tengah tuntutan profesionalisme yang tinggi, guru justru sering berada dalam posisi paling lemah secara struktural. Guru wajib S1, dosen wajib S2. Tetapi kita hidup di negeri di mana banyak pemegang jabatan strategis cukup berijazah SMA. Pendidikan diagungkan dalam pidato, tetapi sering dikesampingkan dalam praktik kekuasaan.

Fakta Lapangan yang Tidak Nyaman. Mari kita jujur. Dunia pendidikan kita memang memiliki persoalan serius di sisi kualitas guru. Tidak semua guru buruk, tetapi ketimpangan kualitas guru nyata adanya. Ada guru-guru luar biasa yang mengajar dengan hati, tetapi ada pula guru “karbitan” yang lahir dari sistem pendidikan guru yang longgar dan permisif.

Faktanya, masih ada perguruan tinggi yang asal mencetak gelar S.Pd. Kuliah seadanya, praktik minim, lalu lulus. Begitu pun program PPG pada beberapa guru yang tidak membekas. Begitupun kebijakan linieritas ijazah yang pada dasarnya dimaksudkan untuk menjaga mutu dan relevansi kompetensi guru. Namun dalam praktiknya, kebijakan ini justru sering melenceng dari tujuan awal dan berubah menjadi sekadar alat administrasi, bukan instrumen peningkatan kualitas. Linieritas akhirnya lebih sibuk mencocokkan nama program studi di ijazah dengan mata pelajaran di kelas, ketimbang menguji apakah seorang guru benar-benar mampu mengajar dan mendidik. Akibatnya, profesi guru tercoreng oleh mereka yang seharusnya belum layak mengajar. Jika kemampuan guru rendah, mustahil berharap siswanya melonjak tinggi. Logika sederhana ini sering diabaikan.

Masalah berikutnya adalah sistem pelatihan guru. Pelatihan memang ada, tetapi sering tidak efektif. Model berjenjang, pusat melatih beberapa orang di provinsi, lalu ke kabupaten, lalu ke sekolah, menyebabkan substansi pelatihan tergerus di setiap tahap. Sekolah akhirnya menerima “ampasnya”: materi dangkal, penuh jargon, dan yang membekas hanya“ice breaking” yang menyenangkan tapi miskin dampak.

BACA JUGA:Komitmen Meningkatkan Kualitas dan Sinergi Dunia Pendidikan di Sumsel, Ini yang Dilakukan BPMP Sumsel

BACA JUGA:Borong Tiga Penghargaan, OKU Timur Kukuhkan Diri sebagai Pelopor Pendidikan di Sumsel

Belum lagi persoalan penilaian. Banyak yang tidak ambil pusing dengan nilai TKA yang rendah. Toh, di rapor tertulis 85. Ketika asesmen nasional berkata jujur, rapor justru berdusta. Di sinilah kita sedang mengajari anak-anak tentang satu hal yang berbahaya: ketidakjujuran sistemik.

Metode Mengajar yang Kehilangan Makna

Mendikdasmen menyebut akar masalah lain: metodologi pengajaran dan kualitas sumber belajar. Ini pun tak bisa dibantah. Matematika sering diajarkan sebagai kumpulan rumus mati, bukan sebagai alat berpikir. Buku teks kering, jauh dari konteks kehidupan siswa. Akibatnya, Matematika menjadi momok, bukan sahabat logika.Jika guru mengajar sekadar mengejar kurikulum, tanpa ruang refleksi dan pemaknaan, maka kelas berubah menjadi ruang hafalan, bukan ruang berpikir. Anak-anak akhirnya lulus ujian, tetapi gagal bernalar.

Jalan Keluar: Berbenah, Bukan Menyalahkan

Jika kita sepakat bahwa siswa bukan masalah utama, dan guru bukan satu-satunya penyebab, maka solusi harus menyentuh sistem. Pertama, benahi system pendidikan guru secara serius. Perguruan tinggi abal-abal yang asal memberi gelar harus ditindak tegas. Profesi guru terlalu mulia untuk dipermainkan.Kedua, reformasi pelatihan guru. Pelatihan harus langsung menyasar guru di sekolah, berbasis praktik kelas, bukan seminar berlapis yang kehilangan makna.Ketiga, perbarui metode dan sumber belajar. Pembelajaran harus diajarkan secara kontekstual, membumi, dan menantang nalar kritis siswa.

BACA JUGA:Peran Pendidikan dalam Mempersiapkan Generasi Muda Menghadapi Dunia Kerja

BACA JUGA:Sentuh Anak Berkebutuhan Khusus, PTBA Dorong Pendidikan Inklusif Lewat Kelas Kreasi

Terakhir, hentikan budaya menyalahkan guru secara sepihak. Pendidikan adalah kerja kolektif. Tanpa dukungan orang tua dan sistem yang adil, guru akan selalu berjuang sendirian.

Nilai TKA yang rendah bukan cermin kebodohan anak-anak kita, melainkan refleksi kejujuran sistem pendidikan. Jika setiap kegagalan selalu ditimpakan ke pundak guru, maka yang runtuh bukan hanya skor TKA, tetapi juga martabat pendidikan itu sendiri.Karena pendidikan yang baik tidak diukur dari seberapa tinggi angka, tetapi dari seberapa dalam makna yang tertanam.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan