BACA JUGA: Gubernur Sumsel Herman Deru Raih Medali Perak Pornas XVII Korpri 2025, Eksekutif Fun Game Tenis Meja
3. Risiko Sosial dan Emosional
Dampak ketergantungan AI tidak hanya menyentuh ranah intelektual, tetapi juga aspek sosial dan emosional.
Interaksi alami antar manusia perlahan tergantikan oleh percakapan digital dengan asisten virtual yang selalu ramah dan tak pernah menilai.
Akibatnya, sebagian anak kehilangan kemampuan membaca ekspresi, memahami perasaan orang lain, atau membangun empati — keterampilan sosial yang sangat penting dalam kehidupan nyata.
“Anak bisa merasa lebih nyaman berbicara dengan AI dibandingkan dengan teman sebayanya,” tambah Nirmala.
4. Data dan Privasi: Bahaya yang Sering Diabaikan
Tak hanya soal perilaku, ada risiko tersembunyi lain yang jarang disadari orang tua: keamanan data pribadi.
Setiap interaksi dengan Meta AI berpotensi meninggalkan jejak digital.
Meski pihak Meta mengklaim telah menerapkan sistem perlindungan privasi yang ketat, tetap muncul pertanyaan soal bagaimana data percakapan digunakan — apakah hanya untuk pembelajaran mesin, atau juga untuk kepentingan iklan dan algoritma bisnis?
BACA JUGA:Calon Dokter Spesialis Turun Bersama Komunitas Neurun, Ramaikan Siloam Sriwijaya Race Run 2025
BACA JUGA: Peluk Erat Sang Anak Usai Baca Eksepsi, Fitrianti Minta Sidang Terpisah Tapi Ditolak Majelis Hakim
5. Peran Orang Tua dan Sekolah
Para ahli menekankan, pendampingan orang tua dan peran sekolah menjadi kunci utama agar teknologi tidak berubah menjadi candu digital.
AI dapat menjadi alat pembelajaran yang luar biasa, asal digunakan dengan bimbingan dan batasan yang jelas.
Orang tua disarankan menetapkan waktu penggunaan, mengajarkan etika digital, dan menumbuhkan kembali minat anak untuk membaca buku, berdiskusi, serta bermain di dunia nyata.
Sementara itu, sekolah dapat mengintegrasikan teknologi secara bijak — bukan menggantikan peran guru, melainkan menjadikan AI sebagai asisten belajar yang mendukung kreativitas dan nalar kritis.