TRANSFORMASI MPLS RAMAH 2025 BERFOKUS PADA HAK ANAK DAN KARAKTER

Minggu 13 Jul 2025 - 20:29 WIB
Oleh: Opini

BACA JUGA:Desak Made Raih Perak

BACA JUGA:Resmi Dicoret, Crystal Palace Turun Kasta

Pentingnya Masa Transisi yang Sehat

Masa awal memasuki sekolah adalah periode krusial dalam pembentukan identitas diri anak.

Erik Erikson menyebut tahap ini sebagai fase “industry vs. inferiority”, di mana anak berjuang menemukan kompetensinya dan merasa diterima dalam lingkungan sosialnya.

Ketika MPLS dipenuhi tekanan, perlakuan diskriminatif, atau hukuman tidak manusiawi, siswa akan mengalami krisis kepercayaan diri.

BACA JUGA:Kurikulum 2025, Inti Perubahan dan Nomenklatur Baru yang Wajib Diketahui Guru

BACA JUGA:Sinergi Ilmu dan Kebijakan untuk Palembang Lebih Hijau, Adil, serta Berkelanjutan

Alih-alih menciptakan karakter yang tangguh, pendekatan represif justru menumbuhkan inferioritas dan ketakutan yang berdampak negatif dalam jangka panjang.

Sebaliknya, MPLS yang menyenangkan dan mendidik akan memupuk keberanian, kepercayaan diri, serta kemampuan sosial yang kuat.

Itulah sebabnya MPLS Ramah 2025 diposisikan sebagai gerakan nasional membangun generasi pelajar Pancasila yang tangguh, mandiri, dan inklusif.

BACA JUGA:Tebar Pesona Sekaligus Branding

BACA JUGA:Nelayan Kena Tembak, Bukan Peluru Tajam, Lanal Palembang Selidiki Satuan dan Personel

Menolak Kekerasan, Merayakan Empati

MPLS bukan tempat untuk “ujian mental” atau “tradisi kekompakan” yang berbentuk kekerasan.

Tugas atau atribut tidak mendidik seperti membawa barang aneh, mengenakan pakaian merendahkan, hingga pelecehan verbal, harus dihentikan.

Semua ini tidak hanya menyalahi prinsip perlindungan anak, tetapi juga bertentangan dengan falsafah pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang menempatkan anak sebagai manusia seutuhnya.

Pendidikan karakter tidak bisa tumbuh di bawah tekanan dan rasa takut.

Kategori :