SUMSEL, SUMATERAEKSPRES.ID - Di Kedai Ngupi Ku-day, Deni Saputra sibuk meracik minuman kopi robusta untuk pelanggan setia.
Ia mengambil segenggam roasted beans (biji kopi yang sudah disangrai), memasukkannya ke coffee grinder, lalu menggilingnya menjadi bubuk kopi.
BACA JUGA:Garap Pembiayaan Potensi Kopi
BACA JUGA:Tingkatkan Produktivitas Kopi
Asli tanpa campuran. Deni menyeduh ke cangkir dengan air hangat dan sedikit gula. Aromanya harum, menggugah selera.
“Biji kopi ini petik merah langsung dari kebun saya di Pulau Beringin, Kabupaten OKU Selatan. Disangrai secara tradisional hingga coklat kehitaman supaya cita rasanya sedap dan nikmat,” ujar Deni kepada Sumatera Ekspres, Kamis (20/12).
Setelah masa panen pada bulan Mei-Juni setiap tahun, ia langsung mengolah, me-roasting, dan mengemasnya menjadi kopi bubuk dengan merek Ngupi Ku-day ukuran 250 gram.
Produk itu ia pasarkan secara online serta menjual langsung di kedai Ngupi Ku-day Jl R Hanan Kemalaraja Baturaja Timur. “Usaha kopi ini saya rintis dari tahun 2018.
Tapi sebelum itu saya sudah berkebun kopi sejak lama, sekitar tahun 2000-an,” terang warga Kemalaraja ini. Deni memiliki kebun kopi seluas 2 hektar dengan produksi rata-rata 1,5-2 ton per tahun.
Semula, ia hanya seorang petani yang habis panen langsung jual ke pengepul kopi. Hal ini membuat usaha pertaniannya tak berkembang, sebagaimana petani kopi kebanyakan.
“Memang kalau melihat harga biji kopi mentah sekarang Rp85 ribu per kg sudah untung, namun menjual setelah diolah (kopi bubuk, red) jauh lebih besar profit-nya,” tutur Deni.
Harga kopi bubuk di pasaran saat ini mencapai 2 kali lipatnya, Rp175 ribu per kg. “Peluang inilah yang saya lihat saat awal memproduksi kopi bubuk Ngupi Ku-day.
Selain itu, saya punya branding produk sendiri yang dapat dikenal banyak orang,” lanjut Deni. Tentu ini memberi nilai tambah (value added) hasil panen kopi dan mengembangkan UMKM-nya.
Kendati ia menemui berbagai tantangan dan rintangan, terutama minimnya modal, pengetahuan tentang kopi (pengolahan kopi bubuk, red), peralatan produksi, packaging, pemasaran, dan sebagainya.
“Produksi kopi bubuk pertama cuma mampu 10 kg lantaran keterbatasan peralatan dan pasar door to door,” imbuhnya lagi.