Sementara molis Honda EM1 e dibanderol Rp43,3 juta dan EM1 e:Plus Rp46,8 juta (OTR Palembang), khusus baterai Honda Mobile Power Pack e: (MPP e:) saja Rp10-12 juta. Lalu mobil listrik termurah Wuling Air ev dibanderol Rp243 juta, padahal mobil konvensional sekelas LCGC rata-rata cuma Rp150 jutaan. Tak heran jika electric vehicle (EV) kalah bersaing dengan kendaraan konvensional. Makanya peminat EV masih terbatas dan market-nya sedikit, mayoritas pembeli merupakan segmen middle high yang mengikuti tren, show up, atau peduli lingkungan.
Karena itu Pemerintah perlu menekan harga EV lebih murah lagi, atau minimal sama dengan kendaraan BBM supaya minat pengguna meningkat. Tak hanya melalui insentif fiskal atau subsidi, tapi sampai mengurangi harga jual langsung dari produsen. Caranya melepaskan ketergantungan dari produk impor komponen pembuat baterai, seperti anode, selubung (casing), separator, elektronik, dan lainnya.
Pemerintah urgent mengembangkan industri baterai dalam negeri untuk menekan cost komponen baterai, supaya produsen otomotif tak perlu lagi impor. Namun mewujudkannya, Pemerintah tak bisa bekerja sendiri, butuh dukungan berbagai stakeholder dan investor terkait. Sejauh ini, sudah ada beberapa perusahaan telah berencana atau memulai pembangunan pabrik sel baterai di Tanah Air.
BACA JUGA:Presiden Jokowi Peringatkan Tantangan Iklim dan Pangan, Tekankan Kewaspadaan
BACA JUGA:IKLIM OKI SANGAT IDEAL UNTUK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
Kementerian ESDM pun mendorong hilirisasi produk mineral dan batu bara untuk pengembangan industri baterai. Diproyeksi kebutuhan baterai di Indonesia mencapai 108,2 GWh hingga tahun 2030. Sementara mencapai target 20 juta mobil listrik BEV, butuh kapasitas baterai 780 GWh.
Diketahui, kapasitas smelter dalam negeri baru mampu memproduksi bahan baku baterai setara 373 GWh, artinya masih ada peluang investasi 407 GWh. Hanya saja, smelter yang ada baru menggunakan nikel dalam memproduksi bahan baku baterai, berupa Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) dan Mix Sulphide Precipitate (MSP), menghasilkan produk nickel sulphate atau cobalt sulphate dengan metode High Pressure Acid Leach (HPAL).
Hilirisasi Komoditas, Dukung EV Battery Ecosystem
Holding BUMN Industri Pertambangan, MIND ID bersama anggotanya PT Antam Tbk, PT Bukit Asam Tbk, PT Freeport Indonesia, PT Inalum (Persero), PT Timah Tbk punya andil besar mewujudkan industri baterai EV dalam negeri melalui hilirisasi produk, karena memiliki sumber bahan baku seperti nikel, tembaga, dan mangan.
Direktur Portofolio dan Pengembangan Usaha MIND ID, Dilo Seno Widagdo menerangkan visi Indonesia Emas 2045 menjadi negara Nusantara yang berdaulat, maju, dan berkelanjutan. “Pemerintah Prabowo-Gibran punya 8 misi Astacita mewujudkan Indonesia Emas 2045. Salah satunya, poin ke-5 melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi bernilai tambah buat negeri kita,” ujarnya saat sosialisasi MediaMIND 2024, Selasa (29/10).
BACA JUGA:BRI Pulihkan Ekosistem dan Lawan Perubahan Iklim Melalui Program BRI Menanam Grow and Green
BACA JUGA:6 Bulan 52 Penghargaan, Fatoni: Peran Media Penting, Ciptakan Iklim Kondusif
MIND ID coba mengakomodasi, mengadopsi apa yang menjadi visi misi Pemerintah lewat Kementerian BUMN. Bahwa turunan hilirisasi dan industrialisasi itu ada industri strategis. “Industri strategisnya EV Battery Ecosystem, jadi bukan EV atau baterai-nya saja,” tegas Dilo. Dikatakan, komoditas yang ada pada EV Battery Ecosystem cukup banyak. Ada anoda dan katoda. Anoda dari graphite, material ini pada baterai sekitar 30 persen.
Sementara katoda macam-macam, ada teknologi LPF (lithium ferro posphate), NMC (nickel manganese cobalt), dan sebagainya. “Kalau kita bicara yang berbasis nikel, teknologinya NMC. Itu semua Indonesia punya, kita bahkan menjadi salah satu produsen nikel terbesar di dunia dan Antam merefresentasikan sumber daya serta cadangan sekitar 60 persen,” terangnya. Ini menandakan grup MIND ID menjadi pemain penting di NMC.
Ada lagi aluminium, kalau NMC mewakili sekitar 16 persen, aluminium 20 persen, tembaga 11 persen. “Prorate itu sebenarnya merefresentasikan 70 persen-an lebih. Nah, graphite-nya kita coba subtitusi pakai synthetic graphite dari batu bara. Teknologi ini sudah kita terapkan bersama teman-teman BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional),” bebernya. Pihaknya berharap pilot project ini pun dapat berlanjut ke tahap komersial.
Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk, Arsal Ismail menambahkan pengembangan batu bara menjadi Artificial Graphite dan Anode Sheet merupakan wujud komitmen perseroan mendukung kebijakan Pemerintah mendorong hilirisasi batu bara serta menjaga ketahanan energi nasional.