Cegah Krisis Iklim dengan Elektrifikasi Kendaraan

Selasa 05 Nov 2024 - 20:17 WIB
Reporter : Rendi
Editor : Edi Sumeks

PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID - Cuaca di bumi saat ini sudah sangat ekstrem. Data BMKG menyebutkan, suhu panas di Indonesia telah mencapai 38,4 derajat celcius derajat pada 27-29 Oktober 2024 di NTT.

Ini menjadi rekor terpanas sejak 1981 silam. Wajar pada musim kemarau, kekeringan semakin panjang dan tanaman sulit bertahan hidup. Sementara musim basah, potensi hujan lebat, badai hebat, puting beliung, longsor, naiknya permukaan air laut memicu banjir bandang, hingga menimbulkan berbagai macam penyakit. 

Peningkatan ini akibat pemanasan global dari pencemaran emisi gas rumah kaca (GRK), baik itu karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitrogen oksida, klorofluorokarbon. Tahun 1980, suhu bumi masih di bawah 0,25 derajat celcius, kini naik ke range 0,74 ± 0,8 derajat celcius. Laporan World Meteorological Organization memperkirakan antara tahun 2023-2027, suhu global bisa bertambah hingga mencapai ambang kritis 1,5 derajat celcius. 

Data BPS yang di-update per 28 Juli 2022, berdasarkan laporan inventarisasi GRK dan MPV 2020 Kementerian Lingkungan Hidup, produksi GRK pada 2019 mencapai 1,86 miliar ton CO2e. Jumlah ini naik 4 kali lipat dibanding 2 dekade sebelumnya, yakni tahun 2000 sebesar 1,18 miliar ton, 2001 sebesar 461,4 juta ton, dan 2002 sebesar 742,3 juta ton.

Emisi CO2 (karbon) menjadi salah satu penopang emisi GRK terbesar, terutama berasal dari penggunaan bahan bakar minyak (energi fosil) oleh kendaraan bermotor. Ditaksir kendaraan menyumbang emisi perkotaan 70-80 persen, dengan 160.652.675 unit kepemilikan kendaraan di Indonesia per Februari 2024 (korlantas.polri.go.id). Berdasarkan data Global Carbon Project (2017), produksi emisi karbon tembus 487 juta ton (MtCO2). 

Karena itu, upaya memitigasi efek GRK secara berkelanjutan sangat genting guna mencegah krisis iklim. Langkah Pemerintah Indonesia mengurangi jejak karbon dari energi fosil, salah satunya melalui program elektrifikasi kendaraan. Pemerintah RI menargetkan penurunan emisi GRK sebesar 31,89 persen (dengan kemampuan sendiri) dan 43,2 persen tahun 2030 (dengan dukungan internasional). Harapannya, Indonesia bisa mencapai NZE (net zero emission) 2060 sesuai dengan dokumen NDC (Nationally Determined Contribution).

BACA JUGA: Perubahan Iklim jadi Ancaman Serius bagi Anak-anak dan Pemuda, Begini Implementasinya

BACA JUGA:Kendalikan Perubahan Iklim pada Subsektor Pembangkit Listrik, Sinergi PLN-Ditjen Gatrik

Beberapa tahun ini, Pemerintah berusaha meningkatkan minat pasar kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB), mulai dari pemberian insentif PPN DTP (Ditanggung Pemerintah) 10 persen, PPnBM 0 persen, BBNKB dan PKB 0 persen, subsidi pembelian/konversi motor dan mobil listrik, dan lain sebagainya. Namun sayangnya hingga kini penetrasinya masih belum optimal. 

Data Kementerian Perhubungan, jumlah KBLBB sesuai dengan sertifikasi registrasi uji tipe (SRUT) yang terbit per April 2024 baru 133.225 unit, meliputi 109.576 unit motor listrik roda dua, 320 unit kendaraan roda tiga, 23.238 unit mobil penumpang listrik, 10 unit mobil komersil, dan 81 unit bus listrik. Jumlah ini masih jauh dibanding populasi kendaraan BBM, sementara penambahan kendaraan listrik setiap tahun sedikit sekali.

Berdasarkan data GAIKINDO, penjualan wholesales (pabrik ke dealer) mobil listrik berbasis baterai (BEV) periode Januari-Agustus 2024 hanya 23.045 unit atau 0,041 persen dari total penjualan mobil nasional di Indonesia sebanyak 560.619 unit. Padahal Pemerintah menargetkan produksi mobil listrik bisa mencapai 1 juta unit tahun 2035. Angka ini dapat mengurangi 12,5 juta barel bahan bakar dan 4,6 juta ton CO2e. Lalu produksi sepeda motor listrik ditarget 3,2 juta unit, mengurangi 4 juta barel bahan bakar dan 1,4 juta ton CO2e.

Banyak alasan yang membuat laju kendaraan listrik sangat lambat dan minimnya minat beli konsumen. Di antaranya harga masih terlalu mahal, keraguan dengan after sales (purna jual), ketersediaan sumber listrik untuk pengisian daya belum merata, keberadaan bengkel, mekanik, hingga spare part kendaraan listrik di pasaran. 

BACA JUGA:Penyelesaian Krisis Iklim dengan Inovasi dan Prinsip Keadilan, Beri Penghargaan Kepada Pegiat Lingkungan Hidup

BACA JUGA:Perbanyak Jumlah Kampung Iklim

Misalnya motor listrik (molis) Gesit Electric saat ini dibanderol Rp28 jutaan, setelah dipotong subsidi Pemerintah Rp7 juta menjadi Rp21 jutaan, masih di atas rata-rata harga motor BBM mulai Rp18 juta-an. Yang bikin mahal, komponen baterai yang nilainya hampir setengah harga molis. Tanpa baterai dan plus subsidi, motor Gesits cuma Rp13 jutaan.

Kategori :

Terkait