Menggugat Relasi Patron-Klien dalam Pilkada?

Senin 21 Oct 2024 - 22:14 WIB
Oleh: Adv

Namun berdampak terhadap perilaku dan kebijakan calon terpilih yang cenderung berpihak hanya kepada tim sukses, pemilih, dan pendukungnya.

Akibatnya mudah ditebak, bahwa sang kepala daerah akan lebih mendahulukan para pendukungnya dan mengabaikan pemilih lainnya.

Jika yang terakhir ini yang terjadi, maka kita tidak heran bahwa pada dekade terakhir pasca reformasi lebih banyak Kepala Daerah yang berakhir dengan jebakan Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme.

Selebihnya sebagai akibat praktik demokrasi yang tidak sehat karena diracuni oleh money politics dan kompromi-kompromi antara partai politik yang lebih banyak lupa dengan kepentingan rakyat.

Demokrasi Substantif sebagai Tujuan Pilkada

Sebagai Negara Kesatuan berbentuk Republik, Kedaulatan Negara Indonesia ditegaskan secara jelas pada Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI 1945:

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal ini menjadi dasar bahwa Indonesia merupakan negara yang menganut kedaulatan rakyat. 

Sebelum diamandemen pada Sidang Tahunan MPR 1-9 November 2001 Pasal ini berbunyi "Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat".

Perubahan pasal ini memberikan makna baru dalam system ketatanegaraan Indonesia pasca reformasi. Artinya, semua lembaga negara adalah pelaksana kedaulatan rakyat termasuk Kepala Daerah yang dipilih melalui mekanisme pilkada.

Namun dari beberapa sistem pemilihan yang dibunyikan dalam Konstitusi NRI 1945 terdapat 3 (tiga) frasa yang berbeda.

Pertama, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dibunyikan “dipilih secara langsung” (Pasal 6 Ayat 1), kedua Pemilihan dengan frasa “dipilih melalui Pemilihan Umum” untuk anggota MPR yang terdiri atas anggota-anggota DPR dan DPD (Pasal 2 Ayat 1 jo Pasal 22C Ayat 1), dan anggota DPRD (Pasal 18 Ayat 3), dan ketiga, secara lebih khusus tentang Pilkada disebutkan pada Pasal 18 Ayat (4) “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. 

Pemaknaan frasa “dipilih secara demokratis” dibedakan dari bentuk Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan Pemilihan Umum MPR dan DPRD.

Perbedaan frasa dalam konstitusi sebagai grundnorm bernegara tersebut bukanlah tanpa makna yang diamandemen pasca reformasi.

Semangat untuk menguatkan potensi daerah dengan asas otonomi dan desentralisasi pemerintahan telah memberikan “ruang demokrasi” yang lebih luas dan fleksibel untuk melaksanakan pilkada.

“Dipilih secara demokratis” tidak berarti harus melaksanakan pemilihan umum secara langsung sebagaimana Presiden dan wakil Presiden dan anggota legislatif lainnya. 

Pilkada bisa saja dilaksanakan melalui demokrasi perwakilan yang direpresentasikan oleh DPRD setempat, 3 pilkada bisa juga dilaksanakan melalui mekanisme kearifan lokal seperti yang terjadi di Daerah Istimewa Yogjakarta, Nanggroe Aceh Darussalam, dan daerah-daerah di Papua. 

Kategori :