Emisi CO2 (karbon) menjadi salah satu pendorong emisi GRK terbesar, terutama berasal dari penggunaan bahan bakar minyak (energi fosil) oleh kendaraan bermotor maupun pembangkit listrik (PLTU batubara, PLTD). Berdasarkan data Global Carbon Project (2017), produksi emisi karbon mencapai 487 juta ton (MtCO2).
Mengingat situasinya genting, Pemerintah Indonesia berupaya menekan emisi GRK untuk mencegah kerentanan krisis iklim. Sebab, saat ini pun cuaca di bumi sudah sedemikian ekstrem akibat naiknya GRK dan suhu bumi. Pada tahun 1980, suhu bumi masih di bawah 0,25 derajat celcius, kini di range 0,74 ± 0,8 derajat celcius. Laporan World Meteorological Organization memperkirakan antara tahun 2023-2027, suhu global bertambah hingga mencapai ambang kritis 1,5 derajat celcius.
Dampak perubahan iklim ini, risikonya gelombang panas yang ekstrem, permukaan laut terus naik, hingga kepunahan satwa liar. Di musim kemarau, suhu panas di Indonesia telah mencapai 25-34 derajat celcius menyebabkan kekeringan semakin panjang dan tanaman sulit bertahan hidup. Sementara musim hujan, potensi hujan lebat, badai hebat, puting beliung, longsor, naiknya air laut memicu banjir bandang, hingga menimbulkan penyakit.
Dalam dokumen NDC (Nationally Determined Contribution) yang diratifikasi dari Perjanjian Paris, Pemerintah RI menargetkan penurunan emisi GRK sebesar 31,89 persen (dengan kemampuan sendiri) dan 43,2 persen tahun 2030 (dengan dukungan internasional). Harapannya pada 2060, Indonesia berhasil mencapai NZE.
Strategi pemerintah, mengurangi penggunaan energi fosil (pensiun dini PLTU batubara), mendorong pemanfaatan EBT (PLTS, PLTMH, PLT Bayu, Biomassa, Nuklir), penggunaan kendaraan listrik, pemanfaatan energi listrik di rumah tangga dan industri (bangunan hijau), serta pemanfaatan Carbon Capture and Storage (CCS).
Hanya saja, hingga semester 1 tahun 2024 ini belum sepenuhnya maksimal seperti realisasi bauran EBT baru sebesar 13,93 persen dari target 19,5 persen pada akhir 2024 dan 23 persen tahun 2025. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi menjelaskan pemerintah terus berupaya meningkatkan investasi subsektor EBTKE guna mendorong akselerasi pemanfaatan EBT.
“Realisasi penambahan kapasitas terpasang pembangkit listrik EBT per semester 1 2024 sebesar 241,06 megawatt (MW) atau 73 persen dari target 326,91 MW. Kami memproyeksi tambahan kapasitas terus meningkat dan mencapai kisaran 650,99 MW pada Desember 2024,” ujarnya dalam keterangan resmi.
Untuk mencapai target bauran EBT, perlu komitmen investasi dan pembangunan infrastruktur berkelanjutan. “Investasi salah satu yang terpenting yang belum tercapai. Komitmen menjalankan investasi, khususnya subsektor EBT, juga infrastruktur yang mendukung sedang kita dorong terus. Kita ingin ada capaian lebih jelas lagi,” tutur Eniya.
Dia menerangkan realisasi investasi subsektor EBTKE hingga semester 1 2024 sebesar US$ 580 atau 46,8 persen dari target US$ 1,23 miliar. Dari capaian ini, masih dibutuhkan sekitar US$ 14,02 miliar untuk memenuhi kebutuhan kapasitas 8.224,1 MW hingga tahun 2025. “Investasi ini untuk mendukung pengembangan berbagai jenis EBT, seperti surya, biomassa, biogas, sampah, geothermal, air, hidro, baterai,” pungkasnya. (fad)