SUMATERAEKSPRES.ID - Demokrasi dapat diibaratkan bagai “obat mujarab” untuk menyembuhkan berbagai persoalan dalam konteks relasi Negara dan masyarakat baik dalam konteks persoalan melakukan control terhadap kekuasaan, kebebasan berpartisipasi dan bersuara (demokrasi politik) dan juga dapat mengatasi masalah ketidakadilan (demokrasi ekonomi). Namun ibarat obat, selain mempunyai dampak penyembuhan juga dapat berdampak mematikan jika tidak sesuai takarannya alias over dosis.
Hampir tidak pernah diantisipasi bahwa demokrasi politik juga memiliki paradox pada dirinya sendiri. Di satu pihak, demokrasi politik member ruang yang lebar bagi setiap kelompok, golongan dan identitas politik berdasarkan asal usul serta basis primordial untuk mengaktualisasikan diri. Di pihak lain, ruang ekspresi tersebut bisa pula menjadi ancaman bagi demokrasi dan keutuhan bangsa jika melampaui proporsinya.
Tak jarang proses demokratisasi tergelincir menjadi malapetaka sosial politik hanya karena kurangnya pemahaman mengenai arti penting demokrasi itu sendiri. Demokrasi acap kali hanya dipahami sebagai proses suksesi kekuasaan dalam politik, sembari melupakan atau mengabaikan tanggung jawab sosial yang terkandung di dalamnya. Tanggung jawab sosial yang dimaksud adalah bagaimana menciptakan tata nansosial yang mendukung kesejahteraan rakyat.
Demokrasi adalah pedang bermata dua. Satu sisi matanya bisa dipakai menciptakan kemakmuran dan perdamaian dengan segala aturan hukum yang harus ditaati oleh seluruh warga negara. Sementara kalau tidak hati-hati, sisi mata satunya dapat memancing munculnya otoritarian baru. Sebagai institusi demokrasi, partai politik idealnya harus merawat demokrasi agar berjalan pada koridor yang benar.
BACA JUGA:Asian Values di Tengah Pilkada dan Implikasinya pada Demokrasi Lokal
BACA JUGA:Politik Santun Jelang Pilkada, Menjaga Demokrasi dari Konflik Berkepanjangan
Partai politik, yang secara teoritis diyakini sebagai institusi demokrasi, justru tampil sebagai “pembunuh” demokrasi. Organisasi kekuasaan ini tidak memainkan peran sebagai oposisi untuk perubahan, tetapi hanya melakukan obral janji, mobilisasi massa, dan dijadikan kendaraaan politik para politisi yang saling berebut kekuasaan dan kekayaan. Partai politik bukanlah pendukung otentik demokratisasi, melainkan sebagai bagian dari pemeliharaan status quo yang harus direformasi. (Komarudin Sahid, 2011).
Menjelang Pilkada serentak terlihat sekali beberapa partai besar justru bertindak untuk mematikan aspirasi rakyat. Figur yang elektablitasnya tinggi di masyarakat berusaha diganjal sehingga tidak bisa mencalonkan diri. Fenomena lain adalah adanya aksi borong partai politik dari calon kepala daerah di beberapa daerah.
Pemilihan kepala daerah tidak dimanfaatkan sesuai semangat yang terkandung dalam kata reformasi. Gejala mendewakan harta dan kekuasaan merasuk dalam proses pemilihan kepala daerah. Hal ini sangat melukai hati rakyat. Dalam pemilihan kepala daerah di era otonomi daerah, rakyat nyaris seperti menyerahkan “cek kosong” ke partai politik, karenasiapa pun yang didukung oleh mayoritas partai besar akan dengan mudah melenggang menjadi kepala daerah. Tidak peduli apakah mereka terpilih itu berkemampuan dan sesuai dengan kehendak masyarakat atau tidak. Jadi tidak mengherankan bila seseorang yang tidak memiliki latar belakang pemerintahan dan kurang berwawasan bisa menjadi gubernur, bupati atau walikota hanya karena didukung partai-partai besar.
Tak ada yang salah di sini. Yang keliruhanya tidak transparannya partai-partai mencari tokoh yang berkemampuan menjadi kepala daerah. Artinya, partai-partai masih terjebak paradigm sempit: asal calon mempunyai uang, tidak peduli mutunya rendah, harus bisa menjadi kepala daerah.
BACA JUGA:Pentingnya Netralitas ASN dalam Pemilu: Pilar Demokrasi yang Harus Dijaga!
BACA JUGA:Konferensi AFHI ke-9: Membahas Hukum dan Demokrasi Bersama Prof Taufiq Marwah, Simak Yuk!
Tak heran bila menjelang pilkada banyak calon kepala daerah harus bolak balik ke Jakarta hanya untuk mendapatkan “restu” dari pimpinan parpol, terutama pimpinan parpol besar. Semestinya gejala sentralistis gaya orde baru seperti ini sudah tidak digunakan lagi.
Diakui, kondisi seperti saat ini mengakibatkan posisi kader partai di daerah sering terjepit diantara dua kepentingan antara aspirasi masyarakat daerah dengan kepentingan induk organisasi parpolnya. Dalam pemilihan kepala daerah, umpamanya, para kader harus memperhatikan aspirasi yang berkembang di masyarakat tentang siapa sesungguhnya yang mereka kehendaki. Namun di lain pihak, sebagai kader partai yang kebetulan menjadi pengurus partai, harus loyal dan patuh terhadap keputusan DPP Partai yang telah memberikan “restu” kepada salah satu calon kepala daerah.
Praktiknya, tidak sedikit kadaer yang mbalelo dan melawan sentralisme itu. Oleh DPP Partai, mereka sering dianggap sebagai pengkhianat partai. Lalu memancing konflik internal partai.