Sebaliknya bila waktu qadhanya siang hari maka bacaan-bacaan tersebut dilakukan secara lirih, meskipun salatnya adalah salat Maghrib, Isya, dan Subuh.
Kedua, pendapat muqâbilul ashah yang juga dinilai sebagai pendapat yang sahih menyatakan yang menjadi standar adalah waktu asal salat tersebut.
Jika salat itu adalah Zuhur dan Ashar maka bacaan-bacaan tersebut tetap dibaca lirih meskipun diqadha pada waktu malam hari, dan bila salatnya adalah Maghrib, Isya, dan Subuh maka bacaan-bacaan tersebut tetap dibaca keras meskipun diqadha pada waktu siang hari.
Secara lengkap Imam An-Nawawi menjelaskan:
وَأَمَّا الْفَائِتَةُ فَإِنْ قَضَى فَائِتَةَ اللَّيْلِ بِاللَّيْلِ جَهَّرَ بِلَا خِلَافٍ. وَإِنْ قَضَى فَائِتَةَ النَّهَارِ بِالنَّهَارِ أَسَرَّ بِلَا خِلَافٍ؛ وَإِنْ قَضَى فَائِتَةَ النَّهَارِ لَيْلًا أَوِ اللَّيْلِ نَهَارًا فَوَجْهَانِ، حَكَاهُمَا الْقَاضِى حُسَيْنُ وَالْبَغَوِيُّ وَالْمُتَوَلِّيُّ وَغَيْرُهُمْ. أَصَحُّهُمَا: أَنَّ الْاِعْتِبَارَ بِوَقْتِ الْقَضَاءِ فِي الْإِسْرَارِ وَالْجَهْرِ، صَحَّحَهُ الْبَغَوِيُّ وَالْمُتَوَلِّيُّ وَالرَّافِعِيُّ. وَالثَّانِيُّ: اَلْاِعْتِبَارُ بِوَقْتِ الْفَوَاتِ وَبِهِ قَطَعَ صَاحِبُ الْحَاوِي
Artinya: Adapun salat fâ’itah atau yang keluar dari waktunya, maka (1) bila orang mengqadha salat malam—Maghrib, Isya’, demikan pula Subuh meskipun sebenarnya waktunya adalah pagi—di waktu malam, maka ia sunnah membaca dengan bacaan keras tanpa perbedaan pendapat di antara ulama. (2) bila ia mengqadha salat siang di waktu siang maka ia sunnah membaca dengan bacaan lirih tanpa perbedaan pendapat di antara ulama. Namun (3) bila ia mengqadha salat siang di waktu malam, atau mengqadha salat malam di waktu siang, maka terdapat dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyah yang dihikayatkan oleh Al-Qadhi Husain, Imam al-Baghawi, Imam al-Mutawalli dan lainnya.
(1) Pendapat al-ashah atau yang paling shahih menyatakan, pertimbangannya dengan mengacu pada waktu qadha terkait lirih dan kerasnya. Pendapat ini dinilai shahih oleh Imam al-Baghawi, Imam al-Mutawalli, dan Imam ar-Rafi’i.
Adapun (2) pendapat kedua menyatakan, pertimbangannya dengan mengacu pada waktu yang terlewatkan atau waktu asalnya. Pendapat ini dipastikan oleh penulis Kitab Al-Hâwi, yaitu Imam al-Mawardi (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmû Syarhul Muhadzdzab, juz III, halaman 390).
Kesimpulannya untuk salat qadha, terkait bacaannya apakah keras atau lirih, terdapat dua pendapat.
Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang mengambil standar waktu qadhanya.
Meskipun salat Zuhur atau Ashar bila qadhanya dilakukan di malam hari maka sunnahnya adalah dengan suara keras. Pendapat ini lebih kuat di lingkungan ulama Syafi’iyah. (lia)