SUMATERAEKSPRES.ID - Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang digelar 27 November 2024 mendatang bakal semakin seru. Meski masih beberapa bulan lagi, namun sepertinya politik dinasti semakin terasa dan terlihat jelas.
Politik dinasti sepertinya hampir selalu ada di setiap pemilihan, baik pemilihan legislatif, bupati-wakil bupati maupun pemilihan gubernur-wagub. Hal inilah yang terjadi saat ini. Sebut saja mantan Gubernur Sumsel H Herman Deru, bersama adiknya Ir H Lanosin, MT tetap maju di Ogan Komering Ulu Timur.
Lalu, mantan Bupati Lahat, Cik Ujang, yang maju sebagai balon wagub Sumsel mendampingi Herman Deru, sedangkan sang istri Lidyawati SHut maju sebagai balon bupati Lahat.
BACA JUGA:Herman Deru Didukung KSPSI Maju Pilkada Sumsel 2024, Ini Harapannya
BACA JUGA:ESP Mantap Maju! Dukungan Barisan 8 Center Perkuat Langkahnya Menuju Pilkada Sumsel 2024
Joncik Muhammad, mantan Bupati Empat Lawang bakal kembali maju di pilkada yang sama, sedangkan sang istri, Hj Hepy Safriani SKM MKes, yang saat ini menjabat sebagai Sekda Empat Lawang bakal maju sebagai wali kota Pagaralam.
Mantan Wakil Gubernur Sumsel, Mawardi Yahya, yang mencalonkan diri sebagai balongub. Sedangkan anaknya yang kini menduduki Bupati Ogan Ilir, Panca Wijaya Akbar SH juga kembali akan maju sebagai balonbup periode kedua.
Politik dinasti ini sendiri sepertinya akan terus berlangsung di Indonesia. Apalagi, sejauh ini tidak ada sama sekali pelarangan untuk melakukannya.
Terkait masalah ini, pengamat politik Sumatera Selatan, Bagindo Togar mengatakan, politik dinasti sejauh ini memiliki peluang terbuka dan juga undang-undang memberikan peluang untuk hal tersebut. “Pernah dibawa ke MK. Namun kalaupun dibatasi artinya sama saja melanggar HAM,’’ katanya.
BACA JUGA:Holda-Meli Deklarasikan Maju Pilkada Sumsel
Dikatakan, yang membuat politik dinasti ini berkembang subur lantaran secara etik saja masyarakat masih permisif, serba membolehkan atau mengizinkan politik dinasti yang adanya relasi antarkeluarga penguasa.
‘’Penolakan nyaris tidak ada sama sekali. Apalagi adanya sentuhan emosional dibumbui dengan cendera mata. Itu makin langsung melemahkan masyarakat. Akhirnya masyarakat pun bungkam dengan sendirinya,” katanya.
Sejauh ini, masyarakat tidak bisa lagi berpendapat atau berbicara “Speech loss” lantaran permisif tadi. Pada akhirnya, masyarakat juga tidak bisa bersikap ataupun berekspresi.
“Belum lagi dinasti politik tadi merupakan penguasa yang memiliki kontestasi politik. Baik dari logistik, akses dan relasi. Mereka juga mendapatkan kemudahan, keistimeweaan “privilege” dengan mendapatkan keuntungan sebagai kontestasi pilkada,” paparnya.