PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID – Berbagai isu strategis terkait pelaksanaan pilkada dan tata kelola pemerintah daerah (pemda) dibahas dalam rapat koordinasi (rakor) secara virtual. Dipimpin langsung Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Muhammad Tito Karnavian.
Rakor itu diikuti seluruh kepala daerah, termasuk Penjabat (Pj) Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) Agus Fatoni dan para bupati/wali kota. Mendagri menjelaskan dua tujuan diadakan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pilkada Serentak 2024.
Pertama, untuk mensinkronisasikan program pemerintah pusat dan daerah. Selama ini terjadi ketidaksinkronan pemerintahan baik secara vertikal maupun horizontal karena waktu pemilihan yang berbeda. Kedua, keinginan untuk dilaksanakannya pilkada serentak di seluruh Indonesia agar paralel dengan masa pemerintahan di tingkat pusat (presiden) dengan pemprov (gubernur dan DPRD provinsi) serta pemkab/pemkot (bupati/wali kota dan DPRD kabupaten/kota).
Kaitannya dengan pilkada, Tito mengingatkan seluruh Pj kepala daerah yang saat ini memimpin untuk tidak melakukan politik praktis. Menurutnya, tidak ada larangan bagi para Pj kepala daerah baik gubernur, bupati atau wali kota untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah definitif lewat pilkada.
BACA JUGA:Fajar Menilai Ada Kepentingan Pilkada, 14 DPC PAN Ajukan Mosi tak Percaya
BACA JUGA:Sosok Aguslan Busro, Anggota DPRD Tangsel yang Maju Pilkada OKU Timur 2024
Namun, Mendagri dengan tegas mengingatkan mereka untuk tidak memanfaatkan posisi dan jabatan sebagai Pj untuk mengambil langkah tersebut. "Ada beberapa yang mau running, silakan. Untuk menjadi gubernur, bupati, wali kota dan lain-lain itu hak politik, tidak ada larangan. Tapi jangan memanfaatkan jabatan Pj dengan vulgar untuk politik praktis, untuk mengambil kekuasaan," pesannya.
Mendagri berharap kepada para Pj kepala daerah yang mendapatkan penugasan dari pusat untuk melaksanakan tugas dengan baik. Mendagri juga mewanti-wanti mereka agar tidak dituntut mundur atau bermasalah dengan hukum sekaligus mengecewakan publik.
Untuk itu, Tito menegaskan kalau Pj kepala daerah yang mau maju pilkada harus mundur dari jabatannya. "Penjabat kepala daerah harus mundur 5 bulan sebelum pelaksanaan pilkada, jika ingin ikut pilkada," tegasnya.
Kata Tito, Pj ditunjuk pemerintah pusat sebagai pengisi kekosongan pimpinan daerah. Karena itu, tidak boleh menggunakan jabatan untuk politik praktis. "Seluruh penjabat kepala daerah harus bersikap netral dalam pelaksanaan pilkada," tegasnya.
Netralitas penjabat kepala daerah dalam pilkada diatur UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Wali Kota, menjadi Undang-Undang yang ditetapkan tanggal 1 Juli 2016.
Pada pasal 7 ayat (2) huruf q, calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon wali kota dan wakil wali kota harus memenuhi persyaratan. Persyaratan itu disebutkan pada ayat (1). menurut Mendagri, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut huruf q: tidak berstatus sebagai penjabat gubernur, penjabat bupati dan penjabat wali kota.
BACA JUGA:Baru Dua Tokoh, Lainnya Wait and See, Pilkada Banyuasin
BACA JUGA:Siap Tinggalkan Kursi Dewan, Luci Maju Pilkada Muba
Ketentuan pada regulasi tersebut, ucap Tito, untuk mencegah penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat wali kota mencalonkan diri menjadi gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota atau wakil wali kota.