MEDAN,SUMATERAEKSPRES.ID-Penyelewengan beras Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) terbukti ada. Bukan hanya isapan jempol semata.
Tak tanggung-tanggung. Jumlahnya mencapai 2.000 ton alias 2.000.000 kilogram.
Dengan asumsi satu keluarga dalam sebulan mengkonsumsi 20 kilogram beras, maka beras sebanyak itu harusnya untuk 100.000 keluarga yang membutuhkan.
Tapi, oleh oknum pengusaha di Sumatera Utara (Sumut), malah dijual secara komersil ke Provinsi Riau dan Pulau Jawa.
BACA JUGA:Klaim Harga Beras Sudah Turun, Beras Premium Dijual Rp15 Ribu/Kg
Untunglah, penyelewengan ini berhasil diungkap penyidik Kepolisian Daerah (Polda) Sumut. Sang pengusaha yang berinisial AKL sudah ditetapkan menjadi tersangka.
Kasusnya pemalsuan dokumen oleh AKL agar bisa mendapatkan 2.000 ton beras komersil milik Bulog.
"Dokumen palsu digunakan AKL untuk mendapatkan beras komersil sebanyak 2.000 ton pada Februari 2024 lalu," ungkap Kabid Humas Polda Sumut Kombes Hadi Wahyudi, Senin (4/3).
Modus operandi yang dilakukan tersangka AKL yakni menggunakan dokumen palsu dari kilang padi Parino di Kabupaten Deli Serdang, Sumut.
BACA JUGA:Satuan Tugas Pangan Polda Sumsel Bersama TPID Lakukan Pengecekan Gudang Beras Menjelang Ramadhan
BACA JUGA:Bantuan Beras 10 Kg Diperpanjang hingga Juni 2024, Syaratnya Mencengangkan!
Parino memang tercatat sebagai rekanan Bulog Sumut. Sudah terdaftar resmi. Namun, Parino mengaku tidak pernah mengeluarkan dokumen itu.
Alhasil, AKL dijerat pasal pemalsuan dokumen. "Tanda tangan pada dokumen itu dipalsukan, ini yang masih terus kami dalami," ujar Kombes Hadi.
Dari hasil pemeriksaan, AKL terungkap tidak memiliki perusahaan yang bergerak di bidang penggilingan padi.
Dia memalsukan dokumen kilang padi Parino karena salah satu syarat untuk bisa mendapatkan beras Bulog harus lah memiliki penggilingan padi.
BACA JUGA:Bulog Sebut Ada Tambahan 300 Ton Beras Impor dari Thailand dan Pakistan
BACA JUGA:Harga Beras Turun, Telur Masih Tinggi
Sedangkan tersangka AKL hanya seorang distributor gula dan beras. “Dia menyalurkan beras 2.000 ton itu ke wilayah Riau dan Pulau Jawa. Mungkin karena memiliki pasar di Riau dan Jawa,” tuturnya.
Atas perbuatannya, tersangka AKL dijerat dengan Pasal 6 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi dan atau Pasal 141, Pasal 143, dan Pasal 144 UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Atau, Pasal 62 (1) UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan atau Pasal 263, Pasal 266 KHUPidana Juncto Pasal 55, Pasal 56 KHUPidana.
Sebelumnya, dari temuan lapangan, Polda Sumut menemukan indikasi pelanggaran dalam distribusi beras Bulog.
BACA JUGA:Pemda Diminta Koordinasi dengan Bulog Bantu Salurkan Beras SPHP
BACA JUGA:Batasi Beras ke Luar Sumsel, Jangan Status Lumbung Pangan, Harga Mahal Karena Stok Kosong
Dalam sidak gabungan Polda Sumut bersama Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan pemerintah daerah yang tergabung dalam satgas pangan, menemukan indikasi kuat beras Bulog yang dikemas ulang dengan tujuan menaikkan harga.
Kasubdit Indagsi Ditreskrimsus Polda Sumut AKBP Bambang Rubianto menuturkan, dugaan penyelewengan itu ditemukan di tiga pasar di Medan, yakni Pasar Petisah, Pasar Suka Ramai, dan Pasar Simpang Limun.
Beras Bulog dibeli, lalu diganti kemasannya, dengan merek lain. Kemudian dijual lagi Rp13.500 per kilogram.Harga jual itu selisih Rp2.000 per kilogram dari harga eceran tertinggi (HET) Rp 11.500.
”Dengan dikemas ulang kemungkinan agar bisa dijual dengan harga lebih tinggi,” ungkapnya.
BACA JUGA:Suplai Beras ke Ritel Modern Terbatas
BACA JUGA:Beras Premium Langka, Bakal Sidak Pasar
Menurut AKBP Bambang, beras Bulog yang dikemas ulang itu ditemukan tidak hanya di satu pedagang. Hampir semua pedagang beras di tiga pasar tersebut melakukan hal yang sama.
”Setelah didalami, diketahui pedagang tidak mendapatkan beras ini langsung dari Bulog,” bebernya.
Mungkin pedagang mendapatkan beras Bulog dari pedagang lainnya. Hal itu menunjukkan rantai distribusi beras yang terlalu panjang.
Beras dari Bulog dibeli kartel, lalu ada sub lagi dan baru sampai ke pedagang di pasar. “Kan terlalu panjang jalur distribusinya,” tukas AKBP Bambang. (*/)