KAYUAGUNG, SUMATERAEKSPRES.ID - Sejak abad ke-16/17, suku Kayuagung telah mewarisi tradisi pemberian gelar atau "Juluk."
Jejuluk, atau pemberian gelar, menjadi bagian integral dalam masyarakat suku Kayuagung sejak berakhirnya masa prasejarah.
Kebiasaan ini diperkenalkan oleh suku Mukena Mutaralam, yang berasal dari kerajaan kecil di wilayah Way Kunang Lampung dan menetap di tanah Komering Ilir, menjadi akar leluhur penduduk asli Kayuagung.
Upacara pemberian gelar, yang dalam hukum adat Kayuagung dikenal sebagai "NGONI CANGKINGAN" (memberi bawaan), terjadi setelah akad nikah.
BACA JUGA:Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Salah Satu Objek Wisata Budaya Kota Palembang
BACA JUGA:Tradisi Sanjo atau Rumpakan Ala Wong Palembang, Ritus Budaya yang Mulai Ditinggalkan
Gelar diberikan kepada pasangan yang baru saja berubah status dari bujang (muanai) menjadi kepala keluarga (pengawe).
Proses ini diawali setelah akad nikah, di mana para ungaian tengah menikmati hidangan.
Gelar atau Juluk diberikan berdasarkan garis keturunan sebelah ayah mempelai laki-laki, melibatkan kakak atau buyut, dan seterusnya.
Persetujuan dari proatin setempat diperlukan sebelum pemberian gelar ini diumumkan di hadapan khalayak ramai, dan gelar tersebut tidak boleh rangkap dalam suatu kelurahan/desa.
BACA JUGA:Keliling Palembang, Kenali Budaya dan Sejarah
BACA JUGA:Mau Tahu Kegiatan yang Bikin Anak Lebih Cerdas, Cek Disini Jawabannya
Dalam acara pemberian gelar, puisi-puisi tradisional seperti "Tabunglah Canang Keunang-Unang" dan "Adolah Kayu Sepordan-Pordan" disampaikan, menyiratkan makna ucapan terima kasih dan petunjuk bagi kedua mempelai.
Pemberian gelar seperti "Wiralaga," "Singe de Kane," atau "Cahaya Morge" memiliki arti dan makna tersendiri, mencerminkan keturunan, keahlian, atau status sosial.
Pentingnya pemberian "Juadah" atau hadiah dalam bentuk bungkusan sebagai bagian dari upacara Juluk menjadi penentu sahnya pemberian gelar ini.